Huawei merasa bisnis seperti startup karena sanksi dari pemerintah Amerika Serikat (AS). Meski begitu, Corporate Senior Vice President and Director of the Board Huawei Catherine Chen optimistis bisa bangkit, karena merambah tiga bisnis baru.
Raksasa teknologi asal Cina itu masuk daftar hitam (blacklist) terkait perdagangan di AS sejak awal 2019. Sejak saat itu, produsen ponsel ini tak lagi bisa bekerja sama dengan perusahaan Amerika, termasuk Google.
Huawei bahkan terpaksa menyetop produksi cip andalan, Kirin pada akhir tahun lalu. “Huawei dipaksa mengadopsi mentalitas startup, sebagian karena sanksi pemerintah AS,” Catherine kepada The Guardian, dikutip Kamis (2/9).
Selain sanki AS, solusi jaringan internet generasi kelima alias 5G dari Huawei ditolak oleh beberapa negara di Eropa. Alasannya, terkait keamanan.
Putri pendiri perusahaan Ren Zhengfei yang juga menjabat Direktur keuangan Huawei Meng Wanzhou bahkan ditahan di Amerika. Ini karena dituduh menyesatkan bank-bank multinasional tentang kendala Huawei terhadap perusahaan yang beroperasi di Iran.
"Meng Wanzhou menjadi kolega dan teman saya selama 26 tahun," kata Catherine. “Kami berdua adalah wanita dan ibu. Dia telah ditahan di Kanada selama hampir 1.000 hari, yang benar-benar tidak adil baginya.”
Ia menyampaikan, Huawei berada dalam situasi yang sangat rumit imbas sanksi AS. “Saya merasa sangat mirip dengan menjadi startup lagi. Memulai bisnis melibatkan banyak ketidakpastian. Banyak elemen yang kami andalkan di masa lalu sekarang berubah,” katanya.
Menurut dia, kepercayaan diri merupakan hal penting bagi perusahaan rintisan. “Bagi para startup, kesuksesan adalah hasil dari cita-cita, bukan perhitungan,” ujar Catherine.
Ia mengklaim bahwa Huawei telah mengatasi banyak tantangan selama lebih dari 30 tahun terakhir. Namun kali ini, tantangan yang dihadapi bukanlah hasil dari beberapa masalah internal.
“Sebaliknya, itu adalah tekanan eksternal. Faktanya, tantangan ini menghidupkan kembali semangat lebih dari 190 ribu karyawan kami,” ujarnya.
Mengambil hikmah dari hambatan tersebut, Huawei berfokus mendiversifikasi dan menemukan sumber pendapatan baru. Ini karena perusahaan menggencarkan riset dan pengembangan alias research and development (R&D).
“Investasi R&D kami tahun ini akan tetap sekitar US$ 20 miliar. Menurut laporan di Eropa, Huawei masuk daftar perusahaan dengan R&D teratas selama 10 tahun berturut-turut. Kami juga mendapat peringkat di antara perusahaan teratas dalam hal paten aplikasi,” kata dia.
Huawei merambah bisnis kendaraan listrik, dan disebut-sebut meluncurkan mobil listrik seharga 300 ribu yuan atau Rp 663,6 juta pada Maret. Raksasa teknologi asal Cina ini juga merambah bisnis peternakan babi, komputasi awan (cloud), dan kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI).
Akan tetapi, Huawei masih menghadapi tantangan kelangkaan cip (chipset). Utamanya, karena raksasa teknologi ini tak bisa bekerja sama dengan perusahaan AS untuk mendapatkan komponen.
“Saat ini kami tidak memiliki solusi untuk pembatasan cip canggih, sehingga pendapatan dari bisnis ini menurun. Kemungkinannya, perusahaan di Cina, Eropa, atau tempat lain akan mengatasi hambatan untuk cip canggih. Pada saat itu, Huawei mungkin akan kembali ke bisnis smartphone,” kata dia.