Huawei Technologies Co berencana merekrut lebih banyak tenaga ahli dari negara lain. Ini untuk mengatasi dampak dari blokir Amerika Serikat (AS) sejak awal 2019.
“Perusahaan kami berada dalam periode kritis kelangsungan hidup dan pengembangan strategis. Jadi kami harus memiliki bakat yang dibutuhkan jika ingin maju,” kata pendiri sekaligus kepala eksekutif Huawei Ren Zhengfei dalam pertemuan internal dengan para peneliti dan karyawan lain bulan lalu, dikutip dari SCMP, Rabu (15/9).
Bisnis jaringan internet generasi kelima alias 5G tertekan sanksi AS. Beberapa negara di Eropa pun memutuskan untuk tak menggunakan solusi 5G dari Huawei.
Sanksi AS tersebut juga membuat bisnis ponsel pintar (smartphone) Huawei tertekan. Ini karena raksasa teknologi Cina itu tak bisa bekerja sama dengan perusahaan AS, termasuk Google.
Alhasil gawai Huawei tak lagi didukung sistem operasi atau operating system (OS) Android maupun Layanan Seluler Google (GMS) seperti Gmail, YouTube, dan lainnya sejak Agustus tahun lalu.
Huawei pun mengembangkan OS sendiri yakni HarmonyOS. OS ini terus diperbarui. Versi stabil HarmonyOS bahkan sudah digunakan di hampir 100 juta perangkat.
Produsen ponsel asal Cina itu juga membangun Huawei Mobile Services (HMS) sebagai pengganti GMS.
Seiring dengan beragam pengembangan tersebut, Huawei gencar merekrut tenaga ahli asing. “Rekrut orang-orang yang lebih mampu dari kita,” kata Ren kepada para peneliti dan karyawan.
Raksasa teknologi Cina itu menawarkan gaji lebih tinggi dibandingkan harga pasar kepada tenaga ahli asing. “Ini diperlukan untuk menarik talenta terbaik,” ujar Ren.
Namun ia menegaskan bahwa perusahaan tidak mengubah kebijakan tentang distribusi gaji dan bonus, serta kenaikan jabatan dan pembagian saham. Ini sekalipun bisnis terkena dampak sanksi AS dalam dua tahun terakhir.
"Tidak ada kekacauan di dalam perusahaan," kata Ren. “Sebaliknya, perusahaan sekarang lebih bersatu dari sebelumnya, dan bahkan menarik lebih banyak talenta.”
Huawei yang berbasis di Shenzhen memiliki 197 ribu karyawan di seluruh dunia, menurut laporan tahunan 2020.
Pada pertemuan tersebut, Ren menjawab pertanyaan dari para peneliti tentang komitmen Huawei terkait penelitian jangka panjang. Ia meyakinkan mereka bahwa perusahaan akan terus mendanai berbagai program penelitian dan pengembangan, meski dapat memakan waktu bertahun-tahun.
“Kami mengizinkan HiSilicon untuk terus mendaki Himalaya, tetapi sebagian besar karyawan akan menanam kentang dan menggembala domba dan sapi di kaki gunung untuk menyediakan aliran makanan yang stabil bagi mereka yang mendaki gunung,” kata Ren, mengacu pada unit desain sirkuit terpadu (IC) Huawei.
HiSilicon bertanggung jawab merancang prosesor yang memberi daya pada smartphone Huawei dan menara BTS 5G. Namun sanksi AS membuat HiSilicon tidak bisa melakukan outsourcing produksi desain IC ke pembuat cip terbesar di dunia, Taiwan Semiconductor Manufacturing Co.
Imbas sanksi AS, Huawei terpaksa menyetop produksi cip andalan Kirin pada September tahun lalu.
Huawei pun mencatatkan pendapatan semester pertama terburuk dalam beberapa dekade, yakni turun 29,4% dari tahun lalu (year on year/yoy) menjadi 320 miliar yuan (US$ 49 miliar).
Sejak akhir tahun lalu, Huawei membuat langkah taktis dengan membangun bisnis lain, sambil bekerja untuk tetap relevan di industri smartphone. Inisiatif ini termasuk memperluas layanan komputasi awan (cloud) di kawasan Asia-Pasifik.
Selain itu, membantu perusahaan domestik mengurangi jejak karbon, memasok lebih banyak BTS 5G dan perlengkapan jaringan inti ke operator telekomunikasi utama Cina. Kemudian, meningkatkan kesepakatan lisensi paten, membangun kemitraan untuk platform seluler HarmonyOS, dan menjual Honor.
Bulan lalu, Rotating Chairman Huawei Guo Ping mengumumkan bahwa perusahaan berencana menghidupkan kembali bisnis ponsel dan desain cip.
“Kami pada akhirnya akan merebut kembali tahta kami di pasar smartphone, sambil terus meningkatkan kemampuan pembuatan cip,” kata Guo dalam komentar yang dipublikasikan di akun media sosial perusahaan di WeChat dan Weibo.