Pengembang TikTok, ByteDance diperkirakan mencatatkan peningkatan pendapatan kotor 60% tahun ini. Namun, TikTok menghadapi serangkaian tekanan dari pemerintah Cina, sehingga menunda pencatatan saham perdana ke publik atau IPO.
ByteDance diperkirakan mencatatkan pendapatan kotor 400 miliar yuan atau sekitar Rp 898,5 triliun tahun ini. "Meningkat 60% dibandingkan tahun lalu," demikian laporan The Information dikutip dari South China Morning Post, pada Selasa (16/11).
Pendapatan ByteDance itu sebagian besar berasal dari monetisasi aplikasi TikTok khusus Cina, Douyin dan agregator berita Jinri Toutiao.
Douyin mempunyai lebih dari 600 juta pengguna aktif harian atau daily active user (DAU). Berdasarkan data terbaru Sensor Tower, aplikasi TikTok diunduh 57 juta kali selama Oktober. Sedangkan Douyin menyumbang 17%.
Lonjakan pendapatan ByteDance tergolong paling besar dibandingkan platform digital global lainnya. Induk Facebook, Meta misalnya, mencatatkan peningkatan pendapatan 46% dalam sembilan bulan pertama tahun ini.
Kemudian pengembang WeChat, Tencent hanya melaporkan peningkatan pendapatan 16% pada periode yang sama.
Meski begitu, The Information menyebutkan bahwa pendapatan ByteDance tetap melambat jika dibandingkan pertumbuhan tahun lalu yang mencapai lebih dari dua kali lipat. Induk TikTok mencatatkan pendapatan 250 miliar yuan pada 2020.
ByteDance juga menghadapi tekanan dari pemerintah Cina tahun ini. Beijing melalui Cyberspace Administration of China (CAC) menerapkan aturan agar perusahaan teknologi seperti ByteDance yang mendirikan kantor pusat, pusat penelitian, dan pusat operasi di luar negeri melapor ke regulator di Tiongkok.
CAC juga mengeluarkan dua draf peraturan baru yang mewajibkan perusahaan teknologi seperti ByteDance meninjau keamanan data sebelum IPO di bursa luar negeri, termasuk di Hong Kong.
Alhasil, target IPO ByteDance tahun ini gagal. South China Morning Post melaporkan bahwa akan menunda IPO hingga akhir 2022.