Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sempat memblokir PayPal, Dota hingga Steam karena belum mendaftar Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) lingkup privat. LBH Jakarta pun berencana menggugat Kominfo.
LBH Jakarta membuka pos pengaduan #SaveDigitalFreedom selama 30 Juli – 5 Agustus. Ini ditujukan untuk masyarakat yang dirugikan akibat pemblokiran PayPal hingga Dota oleh Kominfo.
Ada 213 pengaduan yang masuk. “Pengaduan masuk paling banyak pada 31 Juli yakni 75 dan 1 Agustus sebanyak 62 aduan,” demikian dikutip dari laman resmi LBH Jakarta, Minggu (7/8).
Rincian aduan sebagai berikut:
- 194 pengadu menjelaskan permasalahan dampak kebijakan
- 18 sisanya berupa dukungan, protes kebijakan hingga pertanyaan hukum
Sebanyak 211 yang mengadu merupakan perorangan. Selain itu, ada dua perusahaan yang mengajukan aduan.
Rincian pengadu sebagai berikut:
- Freelancer (48%)
- Karyawan swasta (14%)
- Developer (12%)
- Mahasiswa/pelajar (12%)
- Lainnya seperti dosen, musisi dan wirausaha
“Hanya 62 pengadu yang melampirkan bukti kerugian. Total kerugian diestimasikan Rp 1.556.840.000. Masalah yang paling banyak diadukan terkait dampak pemblokiran Paypal yang mencapai 64%,” demikian dikutip.
Ada empat pola permasalahan yang diadukan, di antaranya:
1. Hilangnya akses terhadap layanan-layanan yang berhak didapatkan pengadu dengan berbayar pada situs-situs yang diblokir seperti Steam, Epic dan beberapa situs lainnya
2. Hilangnya penghasilan
Tidak dapat diaksesnya Steam, Epic dan lainnya membuat pengadu kehilangan pendapatan seperti atlet e-sports hingga developer atau pengembang perangkat lunak (software).
Selain itu pemblokiran Paypal juga mengganggu sistem transaksi dan pencairan dana pendapatan banyak freelancer dan pekerja kreatif.
3. Hilangnya pekerjaan
Pemblokiran Paypal mengakibatkan banyak pengadu kehilangan klien dan gagal melakukan kesepakatan kerja
4. Pengadu yang mengalami doxing akibat menyampaikan protes dan penolakan terhadap pemblokiran
Berdasarkan data tersebut, LBH Jakarta mengemukakan tiga pandangan, sebagai berikut:
1. Tindakan pemblokiran dengan alasan tidak terdaftar sebagai PSE justru mengorbankan masyarakat
Sebab, menimbulkan kerugian besar dan meluas, khususnya pada pekerja industri kreatif. Pemerintah dinilai tidak mempertimbangkan dan memperhitungkan aspek kepentingan masyarakat sebelum melakukan tindakan pemblokiran.
Hal tersebut melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, sebagaimana diatur dalam Pasal 52 jo Pasal 10 UU Administrasi Pemerintahan.
2. Tindakan pemblokiran tidak sesuai dengan standar dan mekanisme Hak Asasi Manusia (HAM)
Pembatasan akses internet tidak dapat dilakukan sewenang-wenang, karena prinsipnya akses internet adalah HAM terkait dengan hak atas informasi, hak kebebasan berekspresi hingga hak memperoleh kehidupan yang layak.
Pembatasannya diatur secara limitatif dalam pasal 19 ayat (3) Kovenan Hak Sipol, Pasal 28J ayat 2 UUD 1945 hingga Prinsip Siracusa yang secara garis besar syaratnya harus diatur dalam undang-undang, tujuan yang sah, adanya keperluan, hingga mekanisme pembuktian yang transparan, adil dan imparsial melalui forum pengadilan.
Tindakan pemblokiran dengan alasan tidak terdaftar sebagai PSE dinilai tidak memiliki legitimasi pembatasan yang diatur dalam UU, melainkan hanya pada level peraturan pelaksana Permen Kominfo Nomor 5 tahun 2020, sehingga melanggar standar HAM.
Pasal 40 ayat 2a, 2b UU ITE yang seringkali dicatut sebagai dasar hanya memberikan wewenang pemutusan akses bagi PSE yang memiliki muatan melanggar hukum yang didasarkan pada putusan pengadilan.
“Beberapa situs yang diblokir tidak pernah dinyatakan memiliki muatan yang melanggar hukum tersebut,” demikian dikutip.
3. Tindakan pemblokiran kominfo merupakan perbuatan melawan hukum penguasa
Alasannya, tidak sesuai dengan standar HAM, tidak terdapat alasan pembenar menurut hukum, bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) dan mengakibatkan kerugian bagi masyarakat luas.
Pasal 53 ayat 1 UU PTUN jo Pasal 87 UU Administrasi Pemerintahan memberikan hak bagi siapapun yang dirugikan atas tindakan pemerintahan untuk melayangkan gugatan.
Tindakan koreksi harus dilakukan untuk mencegah terulangnya pelanggaran dan kerugian masyarakat di masa mendatang.
Berdasarkan hal tersebut, “LBH Jakarta bersama masyarakat mempersiapkan gugatan kepada Menteri Kominfo Johnny G Plate untuk membatalkan tindakan dan kebijakan pemerintah yang sewenang-wenang, serta melanggar hukum dan HAM tersebut,” demikian dikutip.