ChatGPT buatan lembaga riset asal San Fransisco, Amerika Serikat (AS), OpenAI viral di media sosial. Ini merupakan platform berbasis kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI).
OpenAI didirikan oleh Elon Musk, Sam Altman, dan beberapa peneliti pada 2015. Sam Altman menyampaikan, ChatGPT digunakan oleh lebih dari satu juta orang dalam lima hari sejak dirilis.
“ChatGPT diluncurkan pada Kamis. Hari ini melampaui 1 juta,” kata Sam Altman melalui Twitter, Senin (5/12).
Berdasarkan laman resmi OpenAI, mereka melatih model AI pada ChatGPT untuk menggunakan Reinforcement Learning from Human Feedback (RLHF). Ini sama dengan yang digunakan pada InstructGPT, tetapi dengan sedikit perbedaan dalam penyiapan pengumpulan data.
“Kami melatih model awal menggunakan penyetelan halus yang diawasi oleh pelatih AI (yang merupakan) manusia,” kata OpenAI. Pelatihan ini memungkinkan AI berbincang dengan pengguna.
ChatGPT kemudian disempurnakan dan menyelesaikan pelatihan pada awal tahun ini.
Warganet Indonesia pun mencoba ChatGPT buatan OpenAI tersebut. Ada yang meminta kecerdasan buatan itu untuk membuatkan perencanaan pemasaran atau marketing plan.
Ada juga yang bertanya mengenai platform di Indonesia maupun teori.
Katadata.co.id pun mencoba untuk menggunakan ChatGPT. Hasilnya, ChatGPT menanggapi pertanyaan baik dalam bahasa Inggris maupun Indonesia.
Misalnya, Katadata.co.id bertanya mengenai apa yang harus dilakukan jika menghadapi persoalan hukum. ChatGPT pun memberikan sejumlah rekomendasi.
Kemudian Katadata.co.id memberikan pertanyaan yang lebih kompleks. "Tentukan limit x mendekati tak hingga 4x-1/x-2?" demikian bunyi pertanyaannya.
ChatGPT pun menjelaskan jawabannya berikut rumusnya.
Katadata.co.id kemudian meminta ChatGPT membuatkan cerita pendek. AI buatan OpenAI ini pun membuatnya dan saat dicek di Google Chrome, ChatGPT tidak plagiat.
Keterbatasan ChatGPT Milik OpenAI
OpenAI mengatakan, ChatGPT terkadang menulis jawaban yang terdengar masuk akal, tetapi sebenarnya salah. Lembaga riset itu menyampaikan, ada beberapa tantangan yang mereka hadapi untuk mengatasi hal ini, di antaranya:
1. Selama pelatihan RL, tidak ada sumber kebenaran
2. Saat Melatih AI untuk lebih berhati-hati, ChatGPT justru menolak pertanyaan yang sebenarnya dapat dijawab dengan benar
3. Pelatihan yang diawasi menyesatkan AI, karena jawaban yang ideal bergantung pada apa yang diketahui oleh AI, bukan apa yang diketahui oleh peraga manusia
4. ChatGPT peka terhadap tweak atau penyesuaian sistem ke frase input atau mencoba prompt yang sama beberapa kali. Prompt terdiri dari satu atau tiga kalimat yang mengangkat masalah, atau mengajukan pertanyaan yang harus Anda jawab dalam esai.
Misalnya AI diberikan satu ungkapan pertanyaan, maka ChatGPT dapat mengklaim tidak tahu jawabannya. Begitu diberi sedikit pengulangan, ChatGPT memberikan jawaban yang benar.
5. AI pada ChatGPT juga sering bertele-tele dan menggunakan frasa tertentu secara berlebihan, seperti menyatakan kembali bahwa itu adalah model bahasa yang dilatih oleh OpenAI.
Idealnya, AI akan mengajukan pertanyaan klarifikasi saat pengguna memberikan kueri yang ambigu. Sebaliknya, ChatGPT masih menebak apa yang diinginkan oleh pengguna.
“Kami telah berupaya agar model tersebut menolak permintaan yang tidak pantas, terkadang model tersebut menanggapi instruksi yang berbahaya atau menunjukkan perilaku bias,” tambah OpenAI.
6. OpenAI pun API Moderasi untuk memperingatkan atau memblokir jenis konten yang tidak aman. “Kami sangat ingin mengumpulkan umpan balik pengguna untuk membantu pekerjaan kami yang berkelanjutan dalam meningkatkan sistem ini,” ujar OpenAI.