Menlu Retno: Israel Memanipulasi Medsos agar Upaya Bela Palestina Terkesan Buruk

ANTARA FOTO/Jessica Wuysang/nym.
Warga meneriakkan yel-yel dalam Aksi Damai Bela Palestina di kawasan Bundaran Digulis, Pontianak, Kalimantan Barat, Sabtu (13/1/2024).
Penulis: Desy Setyowati
4/10/2024, 14.05 WIB

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan Israel berusaha mengubah narasi perjuangan membela Palestina menjadi hal negatif melalui media sosial secara terstruktur.

Menurut Retno, Israel berusaha menghilangkan hak-hak Palestina dan menihilkan harapan kemerdekaan negara ini. Hal ini tecermin dari tidak disebutkannya Palestina di dalam pidato Perdana Menteri Netanyahu di depan Sidang Majelis umum PBB beberapa waktu lalu.

Padahal, rata-rata negara anggota PBB menyebutkan masalah Palestina pada saat menyampaikan pernyataan nasional, termasuk Indonesia.

Retno mengingatkan bahwa situasi Palestina sangat mengkhawatirkan. Lebih dari 41,7 ribu orang terbunuh di Palestina dan 15 ribu di antaranya merupakan anak-anak.

Pekerja kemanusiaan juga menjadi korban dalam serangan Israel ke Palestina.

“Lebih dari 10 ribu orang tertimbun. Lebih dari 90 ribu orang terluka dan 70% perumahan di Gaza hancur. Sebanyak 220 pekerja kemanusiaan kehilangan nyawa,” ujar Menlu Retno Marsudi usai menerima penghargaan Diplomacy Mujahidah Award dari Majelis Ulama Indonesia atau MUI di Jakarta, Kamis (3/10).

Ia menerima penghargaan itu atas upayanya memperjuangkan perdamaian, hak kemanusiaan, serta kemerdekaan terutama bagi bangsa Palestina. Menurut Retno, penghargaan ini mengingatkan bahwa perjuangan untuk Palestina merupakan peran bersama dan memotivasi lebih banyak orang untuk berbuat kebajikan.

Retno mengingatkan, perjalanan bangsa Palestina untuk mendapatkan hak-haknya masih akan panjang. “Kemerdekaan Palestina, serta upaya membela kebenaran dan keadilan memerlukan dukungan negara-negara seperti Indonesia yang secara konsisten berani mengatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah,” kata dia.

Ia menyebutkan jumlah bantuan pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk Palestina sangat besar selama 10 tahun terakhir. Tanah Air juga sudah menyalurkan 189 capacity building kepada lebih dari 2.000 beneficiaries Palestina dan pembangunan rumah sakit Indonesia di Gaza.

Itu belum termasuk komitmen penyaluran bantuan ke Palestina melalui saluran lain seperti International Labour Organization atau ILO dan UNRWA.

Ia meminta masyarakat Indonesia untuk tidak lelah membela kebenaran dan keadilan untuk bangsa Palestina. “Saya sangat bangga melihat rekan-rekan organisasi kemasyarakatan, aktivis, dan relawan Indonesia terus bekerja tanpa lelah untuk memberikan dukungan kepada Palestina. Semoga budi baik ibu bapak menjadi berkah dan amalan,” kata dia.

Indonesia juga terus mendorong implementasi Resolusi Majelis Umum PBB nomor ES-10/24 yang meminta Israel mengakhiri aktivitas ilegal di Occupied Palestinian Territory atau UPT, sesuai fatwa hukum dari Mahkamah Internasional.

Menurut Retno, tidak mudah menjalankan politik luar negeri yang bermartabat selama hampir 10 tahun dirinya mengemban tanggung jawab sebagai Menteri Luar Negeri Indonesia. Ia berterima kasih kepada seluruh pihak yang mendukung pelaksanaan politik luar negeri Indonesia dalam satu dekade ini.

Cara Israel Memanipulasi Media Sosial

Israel dilaporkan membuat ratusan akun media sosial palsu untuk menyebarkan konten pro-Israel di Amerika. Ini bertujuan membentuk opini di Negeri Paman Sam.

Empat pejabat Israel mengatakan, kampanye rahasia dengan membuat ratusan akun palsu itu dikelola oleh Kementerian Urusan Diaspora Israel. Ini merupakan badan pemerintah yang menghubungkan orang-orang Yahudi di seluruh dunia dengan Israel.

Kementerian tersebut mengalokasikan US$ 2 juta atau sekitar Rp 32,5 miliar untuk mengelola akun palsu. Instansi Israel ini juga menyewa jasa Stoic, perusahaan pemasaran politik di Tel Aviv.

Israel menggunakan bantuan teknologi chatbot AI ChatGPT milik OpenAI dalam kampanye itu. ChatGPT digunakan untuk membuat lebih banyak unggahan pro-Israel.

The New York Times melaporkan, kampanye Israel dengan membuat ratusan akun media sosial palsu itu untuk mendorong dukungan atas tindakannya menyerang warga Gaza, Palestina.

Kampanye dimulai pada Oktober 2023. Israel menggunakan ratusan akun palsu yang berpura-pura menjadi orang Amerika asli di X, Facebook, dan Instagram untuk mengunggah komentar pro-Israel.

“Akun-akun itu menyasar anggota parlemen Amerika, terutama yang berkulit hitam dan dari Partai Demokrat, seperti Representatif Hakeem Jeffries, pemimpin minoritas DPR dari New York, dan Senator Raphael Warnock dari Georgia. Konten yang diunggah bernarasi mendesak para pejabat untuk terus mendanai militer Israel,” demikian isi laporan kementerian Israel, dikutip dari New York Times pada Juni.

New York Times mengatakan, kampanye tersebut diverifikasi oleh empat anggota dan mantan anggota Kementerian Urusan Diaspora. Dokumen tentang kampanye ini belum pernah dipublikasikan.

Lembaga pengawas misinformasi Israel, FakeReporter mengidentifikasi kampanye tersebut pada Maret.

Pada Juni, Meta pemilik Facebook dan Instagram, serta OpenAI mengatakan bahwa mereka juga menemukan ratusan akun palsu buatan Israel tersebut.

Kampanye rahasia itu menandakan sejauh mana Israel bersedia melakukan upaya untuk mempengaruhi opini Amerika tentang perang di Gaza. 

Laporan Business for Social Responsibility (BSR) pada 2022 juga menunjukkan, induk Facebook dan Instagram, Meta melanggar kebebasan berekspresi warga Palestina.

BSR meneliti data, kasus dan materi individu terkait, serta keterlibatan pemangku eksternal atas kebijakan Meta pada platform media sosialnya saat kerusuhan di jalur Gaza pada Mei 2021.

Saat itu, pasukan Israel melakukan serangan udara ke beberapa titik di Palestina. Serangan ini menghancurkan sejumlah rumah dan infrastruktur. Namun Meta menerapkan sistem moderasi konten di Facebook dan Instagram, yang dinilai mengekang Hak Asasi Manusia atau HAM warga Palestina.

“Tindakan Meta pada Mei 2021 tampaknya memiliki dampak yang merugikan HAM pengguna di Palestina atas kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul, politik partisipasi, dan non-diskriminasi,” tulis BSR dalam laporannya, dikutip dari Engadget, pada 2022. “Dan karena itu, (Meta membatasi) kemampuan warga Palestina untuk berbagi informasi dan wawasan tentang pengalaman mereka saat itu terjadi.”

Reporter: Antara, Desy Setyowati