Indonesia di Era AI: Peluang dan Tantangan dalam Persaingan Global

Perusahaan teknologi Amerika dan Cina bersaing ketat dalam pengembangan AI atau kecerdasan buatan, seperti ChatGPT dan DeepSeek. Bagaimana posisi Indonesia di tengah persaingan ini?
Merujuk pada riset Gartner, Indonesia masih pada tahap eksperimen awal. Di Indonesia, penggunaan AI untuk kegiatan sehari-hari, seperti penggunaan chatbot dan asisten virtual.
Dalam hal framework pengembangan AI, Indonesia masih di tahap taker yakni menggunakan model yang tersedia secara publik dengan sedikit atau tanpa kustomisasi. Misalnya, asisten coding atau pemrograman siap pakai untuk software developers maupun chatbot seperti ChatGPT dan DeepSeek.
Tahap berikutnya dari framework pengembangan AI yakni shaper dan maker. Shaper yaitu mengintegrasikan model dengan data dan sistem internal untuk menghasilkan sistem yang lebih terkustomisasi.
Misalnya, chatbot customer service yang disesuaikan dengan pengetahuan spesifik dan riwayat percakapan.
Selanjutnya yakni maker, dengan membangun model dasar untuk menangani kasus bisnis tertentu. Misalnya, model dasar AI yang dilatih untuk membantu diagnosis pasien.
“Beberapa (perusahaan) sudah masuk shaper atau development, tetapi jumlahnya masih sedikit,” kata Lead Analyst Katadata Insight Center Abhinaya Putri dalam acara Ngobrol Santai IDA bertajuk ‘Adopsi AI untuk Siapa? Jadi Mandiri atau Jebakan Kekuasaan Global’ di kantor Katadata Indonesia, Jakarta, Rabu (26/2).
Salah satu perusahaan yang masuk tahap shaper dan maker yakni Indosat melalui inovasi seperti Sahabat-AI, Indosat AI Experience Center, dan Digital Intelligence Operation Center atau DIOC.
Kemudian GoTo Gojek Tokopedia menggunakan AI untuk personalisasi preferensi pelanggan dan prediksi permintaan. Begitu juga dengan Kata.ai memanfaatkan AI untuk merancang interaksi pelanggan melalui percakapan otomatis.
Di Industri media misalnya, Liputan 6 sudah mengadopsi AI untuk cek fakta, ilustrasi hingga presenter berita virtual. Menurut Pemimpin Redaksi atau Pemred Liputan 6 Ellin Yunita Kristanti, tantangan di tengah tren AI yakni memastikan proses pembuatan berita mengikuti kaidah jurnalistik.
“Sebenarnya AI itu sangat bermanfaat. Kami lebih khawatir terhadap copyright misalnya, membuat foto dan mirip seseorang. Bagaimana?” ujar Ellin. “Terkait AI, menurut saya kita optimistis tetapi hati-hati.”
Dari sisi pengguna, adopsi AI di Indonesia di atas rata-rata global. Survei Oliver Wyman pada 2023 menunjukkan 50% karyawan di Tanah Air menggunakan AI setidaknya sekali dalam seminggu. Porsinya di atas rata-rata global 40% setiap minggu.
Survei Microsoft dan LinkedIn pada 2024 juga menunjukkan 92% pekerja Indonesia sudah memanfaatkan generatif AI dalam bekerja. Persentasenya juga di atas rata-rata global 75% dan Asia Pasifik 83%.
Akan tetapi, optimisme dan antusiasme responden Katadata Insight Center terhadap pengembangan AI di Indonesia cenderung menurun. Menurut Putri, hal ini karena penggunaan platform kecerdasan buatan secara masif ketika ChatGPT tren pada awal 2023, lalu optimisme dan antusiasmenya menurun lantaran pemanfaatan yang terbatas.
Hasil survei Katadata Insight Center terhadap 1.255 responden menunjukkan pengetahuan masyarakat Indonesia tentang AI masih terbatas, meskipun tingkat awareness sudah cukup tinggi.
Sebanyak 83,6% responden familiar dengan AI, namun hanya 25,1% memiliki tingkat pengetahuan moderate dan 13,1% advanced. “Keterbatasan pengetahuan ini terlihat dalam persepsi masyarakat yang masih mendefinisikan AI sebagai chatbot,” demikian dikutip dari laporan Katadata Insight Center bertajuk ‘Kedaulatan AI untuk Memberdayakan Indonesia’.
Selain itu, pengetahuan tentang AI di masyarakat belum merata. Faktor sosial ekonomi, tingkat pendidikan, dan wilayah geografis berpengaruh signifikan.
Kelompok dengan status sosial ekonomi dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung memiliki pengetahuan AI yang lebih baik. Secara geografis, responden dari Indonesia Timur didominasi oleh kelompok dengan pengetahuan dasar, mencapai 93,7%, jauh lebih banyak dibandingkan wilayah Barat 61,2% dan Tengah 49,5%.
Indonesia juga belum memiliki regulasi terkait AI. Komdigi atau Kementerian Komunikasi dan Digital baru mengeluarkan surat edaran mengenai etika penggunaan kecerdasan buatan pada 2023.
Tanah Air masih tergolong ‘tertinggal’ dalam pengembangan dan implementasi AI, baik dari sisi teknologi maupun regulasi. Namun, keterlambatan bisa menjadi peluang strategis, karena Indonesia dapat belajar dari pengalaman negara lain untuk menetapkan regulasi dan strategi yang lebih terarah.
“Indonesia perlu membuat regulasi yang tidak bersifat restriktif, tetapi juga tidak longgar,” kata Senior Research Analyst Katadata Insights Center dalam acara yang sama.
Laporan Katadata Insights Center menyebutkan pelaku industri AI di Indonesia memandang dengan belum adanya regulasi yang spesifik saat ini sebagai peluang strategis untuk mempercepat pengembangan industri AI nasional.
“Tanpa batasan yang ketat, pintu masuk bagi pemain baru AI terbuka lebar, memungkinkan berbagai pihak untuk berinovasi secara bebas dan eksploratif. Ke depannya, regulasi yang lebih komprehensif tetap diperlukan, terutama untuk memitigasi potensi risiko dan memastikan pemanfaatan AI yang bertanggung jawab,” demikian dikutip.
Pada kesempatan berbeda, CEO DCI Indonesia Otto Toto Sugiri menyampaikan ada tiga tahap pengembangan AI yakni:
- Pelatihan: Proses ketika model AI belajar dari data yang diberikan untuk mengenali pola, hubungan, dan fitur penting. Selama proses ini, model AI dipasok dataset besar.
- Inferensi: Proses menggunakan model yang telah dilatih untuk membuat prediksi pada data baru yang belum pernah dilihat sebelumnya. Model AI mengambil input, menerapkan bobot yang sudah dipelajari, dan menghasilkan output seperti prediksi atau klasifikasi.
- Fine-Tuning atau Penyesuaian Lanjut: Proses menyesuaikan model yang sudah dilatih sebelumnya alias pretrained model dengan data spesifik untuk meningkatkan performa pada tugas tertentu. Model AI yang sudah dilatih pada dataset besar disesuaikan lagi menggunakan dataset yang lebih kecil dan spesifik.
“Pada tahap training, butuh kapasitas komputasi awan atau cloud yang sangat besar. Tapi lihat realita, apakah Indonesia mengembangkan AI seperti ChatGPT dan lainnya?” kata Toto dalam acara IDE Katadata: Data for Growth pada sesi ‘Data Centers to Support 8% Economic Growth’ di Hotel St Regis, Jakarta, pekan lalu (18/2).
“Investasi besar-besaran untuk pelatihan model AI seperti ChatGPT dan DeepSeek, itu hanya terjadi di dua negara yakni Amerika dan Cina. Indonesia masuk di proses inference dan fine-tuning, ketika model AI sudah digunakan di industri,” Toto menambahkan.