Bayi Gajah Sumatra Lahir di Taman Nasional Way Kambas

KLHK
Gajah Sumatra yang baru lahir dan berjenis kelamin betina di Taman Nasional Way Kambas, Lampung, Senin (26/2).
27/2/2024, 14.59 WIB

Seekor bayi gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) dengan jenis kelamin betina lahir di Pusat Latihan Gajah (PLG) Taman Nasional Way Kambas (TNWK), Lampung, pada pukul 00.10 WIB Senin, (26/4). Ini merupakan kelahiran keempat dari induk gajah Pleno, yang berusia 34 tahun. 

Saat ini anak gajah betina yang baru lahir dengan kondisi normal dan sehat tersebut belum diberikan nama. Anak gajah betina itu lahir dengan berat badan 69 kg, tinggi bahu 72 cm, lingkar dada 98 cm, panjang badan 87 cm, dan panjang ekor 50 cm.

"Semoga kelahiran ini akan memberi semangat baru dalam pelestarian satwa prioritas dan menambah populasi gajah sumatra di PLG-TNWK,” ungkap Plt. Kepala Balai TNWK, Hermawan, dikutip dari keterangan tertulis yang diterima Katadata.co.id pada Selasa (27/2).

Petugas medis mengukur tinggi badan bayi gajah setelah kelahirannya di Taman Nasional Way Kambas, Lampung, Senin (26/2). (KLHK)

 Sesaat setelah melahirkan, induk gajah dan anaknya langsung mendapatkan penanganan intensif  dari Tim Medis Rumah Sakit Gajah PLG – TNWK. Tim medis membersihkan saluran reproduksi dengan menyemprotkan antiseptik pada induk gajah Pleno.

Tim medis juga menyemprotkan antiseptik pada anak gajah. Beberapa jam kemudian, anak gajah langsung bisa menyusu ke induknya dan nampak sehat. Dengan lahirnya anak gajah ini maka menambah populasi gajah yang ada di PLG.

Hermawan mengatakan, saat ini induk gajah telah diberikan makanan tambahan berupa rumput dari ladang pakan, dan Vitamin via injeksi. Asupan nutrisi tersebut bertujuan untuk memulihkan kondisi pasca melahirkan  dan menambah kualitas air susunya.

Gajah Sumatra yang baru lahir menyusu ke induknya. (KLHK) 

Gajah Asia Terancam Punah

Peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi atau pemanasan global bisa membuat banyak mahluk hidup punah. Hal ini tercatat dalam laporan Climate Change 2023: Synthesis Report yang dirilis Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).

Menurut tim IPCC, dari puluhan ribu spesies di ekosistem darat yang diteliti, 14% di antaranya berisiko tinggi punah jika suhu bumi naik 1,5 derajat Celsius (°C) dibanding rata-rata suhu era pra-industri (1850-1900).

Proporsi spesies yang berisiko punah makin bertambah jika kenaikan suhunya makin tinggi, dengan rincian seperti terlihat pada grafik.

 

Menurut International Fund for Animal Welfare (IFAW), beberapa spesies yang paling terancam punah akibat pemanasan global adalah beruang kutub (Ursus maritimus), penyu hijau (Chelonia mydas), penguin Adelie (Pygoscelis adeliae), gajah Asia (Elephas maximus), ikan hiu, paus, dan lebah.

Kepunahan berbagai hewan itu bisa merusak keseimbangan ekosistem, bahkan berpengaruh pada ketahanan pangan manusia. Contoh kecilnya, lebah.

"Lebah adalah salah satu serangga pendukung penyerbukan tanaman terpenting di planet kita. Tanpa mereka, kita tidak akan memiliki banyak sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan, dan tanaman lainnya," kata IFAW dalam laporan Which animals are most impacted by climate change? (Agustus 2023).

 Untuk mencegah risiko pemanasan global, IPCC mendorong adanya upaya pengurangan emisi karbon secara serius. "Dari setiap 1.000 GtCO2 yang dihasilkan manusia, suhu rata-rata global kemungkinan meningkat antara 0,27 °C sampai 0,63 °C," kata IPCC dalam laporannya.
 
"Dari sudut pandang ilmu fisika, membatasi pemanasan global memerlukan pembatasan emisi CO2, mencapai nol neto emisi CO2, serta pengurangan besar emisi gas rumah kaca jenis lain," lanjutnya.