CORE: Penurunan Emisi GRK Indonesia Jangan Hanya Fokus pada Energi

ANTARA FOTO/Aji Styawan/tom.
Foto udara tambak udang vaname intensif di sekitar area hutan mangrove tepi pantai Desa Kemujan, Karimunjawa, Jepara, Jawa Tengah, Senin (18/9/2023). Menurut data yang dihimpun komunitas pegiat lingkungan Lingkar Juang Karimunjawa sebanyak 33 titik tambak udang intensif tak berizin di wilayah Karimunjawa telah merusak ekosistem lingkungan hidup, mengganggu sektor ekonomi masyarakat nelayan, petani rumput laut serta pariwisata akibat pencemaran sisa limbah dan deforestasi.
28/3/2024, 15.43 WIB

Center of Reform on Economic (Core) Indonesia menyatakan Indonesia menyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) dunia sebesar 12 miliar ton CO2 atau 0,8%. Dari total emisi tersebut 44% emisi di Indonesia berasal dari sektor energi dan 33,8% berasal dari perubahan lahan kehutanan.

“Memang kontribusi kita terbesar di energi. Tetapi apakah kita harus fokus di energi aja nih untuk menurunkan emisinya?,” kata Peneliti CORE Indonesia, Eliza Mardian, di Jakarta, Rabu (27/3).

Eliza mengatakan, Indonesia tidak perlu membuat kebijakan penurunan emisi GRK seperti negara-negara maju yakni Amerika, Uni Eropa hingga Cina. Untuk menekan emisi yang besar, negara-negara tersebut melakukan percepatan transisi energi, misalnya dengan beralih dari kendaraan berbahan bakar minyak (BBM) ke kendaraan listrik.

Menurutnya, Indonesia dapat menurunkan emisi dengan cara lain untuk menyelamatkan dunia dari perubahan iklim yaitu dari sektor hutan dan lahan yang menjadi penyumbang emisi terbesar kedua.

Dia mengatakan, penggundulan hutan dalam skala besar dan tidak terkendali meningkatkan gas rumah kaca dan menambah peningkatan suhu serta eskalasi perubahan iklim. Padahal, pohon memiliki kemampuan luar biasa dalam menjebak emisi GRK sehingga menyelamatkan bumi dari panas berlebih.

Oleh karena itu, pengurangan hilangnya hutan dan emisi gas rumah kaca, serta fokus pada restorasi tutupan hutan, sangatlah penting. Hal itu ditambah peralihan energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT) memerlukan pendanaan yang besar.

Misalnya, kebutuhan dana untuk Progam penghentian PLTU seluruhnya hingga 2050 US$ 32,1 miliar atau setara Rp 475,4 triliun. Di sisi lain, PLN harus menaikkan kapasitas serta ekosistem pembangkit EBT dengan nilai investasi menyentuh US$ 1,2 triliun atau setara Rp 17.772 triliun hingga 2050.

Namun, berbeda dengan sektor kehutanan hanya Rp 309 triliun dan sektor pertanian hanya Rp 7,23 triliun.

“Indonesia masih memiliki jalan lain untuk menurunkan emisi dengan cara yang berkeadilan dan sesuai dengan kapasitas fiskal. Tak mesti sama dengan jalan yang ditempuh negara lain,” ujar Eliza.

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan, realisasi penurunan emisi karbon dioksida (CO2) sektor energi mencapai 127,67 juta ton CO2 pada 2023.

Angka tersebut melampaui target yang ditetapkan sebesar 116 juta ton CO2 pada 2023. Namun, angka realisasi tersebut masih dalam proses verifikasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

 

 

 

Reporter: Rena Laila Wuri