Stok Tuna Sirip Kuning di Samudra Pasifik Tengah Barat Turun Drastis

ANTARA FOTO/Ampelsa/foc.
Nelayan menimbang ikan tuna sirip kuning saat berlangsung proses lelang di terminal Pelabuhan Perikanan Samudera Kutaraja, Banda Aceh.
Penulis: Rena Laila Wuri
3/5/2024, 10.26 WIB

Stok tuna sirip kuning di Western Central Pacific Ocean (WCPO) atau Samudra Pasifik Tengah Barat mengalami penurunan drastis. Hal ini disebabkan akibat eksploitasi berlebih dan peningkatan suhu laut.

Berdasarkan pengalaman komunitas nelayan tuna di Selat Mindoro, Filipina, mereka kini harus memacu kapal hingga 40 kilometer dari tepi pantai dan menghabiskan satu sampai dua minggu di laut untuk mendapatkan hasil tangkapan sepadan dengan 3-7 hari melaut di masa lalu.

Artinya, penurunan populasi tuna sirip kuning di Samudra Pasifik Tengah Barat berdampak pada ketahanan pangan bagi masyarakat yang bergantung pada penangkapan ikan. Sementara, Pemerintah Indonesia mengumumkan pengurangan kuota tangkapan tuna madidihang dan cakalang di wilayah perairan kepulauan hingga 10% untuk tiga tahun mendatang.

Hal ini dilakukan sebagai implementasi pendekatan Strategi Pemanfaatan Tuna Tropis yang telah disepakati oleh para pelaku perikanan tuna di Indonesia tahun lalu. Di sisi lain, Filipina dengan produksi tuna mencakup 10% dari total produksi perikanan nasionalnya, melakukan langkah pengelolaan tuna melalui kebijakan Strategi Pengelolaan Tuna Nasional yang menjadi kunci untuk menyeimbangkan kebutuhan sosio-ekonomi dan perikanan berkelanjutan.

Meski 43% produksi tuna sirip kuning  di Samudra Pasifik Tengah Barat bersumber dari perikanan kepulauan, sebagian besar hasil produksinya (57%) beredar di luar wilayah perairan kepulauan Samudra Pasifik Tengah Barat. Hal ini membuat strategi panen yang diselaraskan secara regional menjadi sangat penting, agar stok tuna sirip kuning di Samudra Pasifik Tengah Barat dapat dikelola dengan efektif.

Indonesia, Filipina, dan Vietnam Dorong Konservasi Tuna Sirip Kuning

Bertepatan pada Hari Tuna Sedunia, para ilmuwan perikanan dan pembuat kebijakan di Indonesia, Filipina, dan Vietnam bertemu dan mendorong strategi regional yang lebih kuat untuk mempertahankan perikanan tuna sirip kuning di wilayah Samudra Pasifik Tengah Barat. Dalam kesempatan itu, mereka mendesak untuk menghindari aktivitas perikanan tuna yang merusak.

Konservasi di wilayah Samudra Pasifik Tengah Barat diperlukan karena menjadi salah satu lokasi perikanan terbesar di dunia. Direktur Program Kelautan dan Perikanan, Yayasan WWF Indonesia, Imam Musthofa Zainuddin mengatakan, implementasi harvest strategy sebagai kebijakan pengelolaan perikanan tuna di Western & Central Pacific Fisheries Commission itu penting.

Menurut Pasific Community, harvest strategy dikenal sebagai strategi pemanfaatan, memiliki tujuan untuk memastikan keberlanjutan sumberdaya ikan cakalang, tuna sirip kuning, tuna albakora dan tuna mata besar. Strategi ini merupakan  prosedur pengelolaan yang menetapkan peluang penangkapan ikan, seperti upaya atau batas tangkapan, menggunakan perkiraan status stok.

Menurut Imam, tren penurunan stok tuna perlu segera dilakukan langkah mitigasi sehingga tidak perlu menunggu pengesahan kebijakan.  “Seperti mereduksi tangkapan juvenile tuna meningkatkan pengelolaan di area pemijahan, dan langkah lainnya untuk memastikan stok tuna di perairan ini tetap berada pada batas aman, karena waktu tetap berjalan,” kata Imam dalam keterangannya, dikutip Jumat (3/5).

Meski telah dinyatakan overfished oleh Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), populasi tuna sirip kuning terus mengalami penurunan di Samudra Hindia. Kepala Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Fayakun Satria mengatakan, dengan adanya faktor perubahan iklim, tingkat rekrutmen ikan yang rendah, serta faktor-faktor kompleks lainnya, perlu ada persiapan.

Hal ini dilakukan untuk melaksanakan strategi pengelolaan yang telah disepakati agar populasi tuna sirip kuning tetap bertahan. Selagi, populasinya masih dalam batas aman. “Terlalu riskan jika kita berasumsi laju penurunan populasi sirip kuning di wilayah WCPO akan mengikuti tren data terkini,” ucap Satria.

Rencana pemulihan stok tuna madidihang yang kritis masih menjadi perdebatan di antara para pemangku kepentingan dan akan dibahas kembali pada pertemuan tahunan IOTC di Bangkok, 13-17 Mei 2024 mendatang. Para pelaku perikanan dipanggil untuk tidak menunda aksi pengelolaan tuna dengan dalih membutuhkan lebih banyak data maupun waktu.

Reporter: Rena Laila Wuri