Peneliti Kelompok Riset Ekotoksikologi Perairan Darat, Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air BRIN, Rosetyati Retno Utami, mengatakan pihaknya melakukan penelitian di daerah aliran sungai (DAS) Citarum. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, ditemukan kandungan paracetamol mencapai 460 ton per tahun dan amoxicillin mencapai 336 ton per tahun yang kemungkinan berasal dari berbagai aktivitas manusia.
Rosetyati menginformasikan bahwa penggunaan obat dalam skala rumah mengalami peningkatan secara global, terutama setelah pandemi Covid pada 2020. Namun, penangannya sendiri masih sangat kurang, sehingga menimbulkan risiko terhadap pencemaran ekosistem akuatik atau lingkungan air.
Jika terjadi kontaminasi di perairan atau ekosistem akuatik, tentu saja akan membahayakan bagi organisme akuatik dan juga kesehatan manusia.
“Tujuan utama dari penelitian kami secara keseluruhan itu sebenarnya adalah untuk memprediksi seberapa banyak kontaminasi obat dari kegiatan manusia di suatu DAS yang akhirnya masuk ke badan air atau sungai, dan mengestimasi konsentrasinya di sungai,” kata Rosetyati dikutip dari keterangan tertulis, Rabu (10/7).
Dia mengatakan, sumber-sumber kontaminasi farmasi yang mungkin masuk ke dalam sungai Citarum bisa teridentifikasi dari kegiatan peternakan yang banyak sekali menggunakan obat-obatan dan hormon, penggunaan di rumah tangga dan industri. Selain itu, limbah juga berasal dari sistem pengelolaan limbah obat di rumah sakit yang masih mungkin terdapat kebocoran sehingga dapat mengakibatkan masuknya obat ke ekosistem akuatik.
Selain obat-obatan kimia, terdapat juga obat-obatan herbal yang paling tinggi digunakan adalah jahe, dengan tingkat penggunaan masyarakat di DAS Citarum Hulu sekitar 494 ton per tahun dan diikuti oleh oryza sativa (padi) dengan jumlah 446 ton per tahun. Hasil ini selaras dengan penggunaan obat-obatan herbal di tingkat Asia seperti Cina dan India yang juga banyak menggunakan jahe dan beras sebagai obat tradisional.
Dia mengatakan, dari uraian hasil penelitian yang dilakukan disimpulkan bahwa penggunaan obat-obatan kimia maupun herbal di DAS Citarum cukup tinggi. Ini seharusnya meningkatkan kewaspadaan karena ternyata masyarakat juga masih banyak yang membuang sisa obat-obatan tersebut dengan tidak mempertimbangkan efeknya terhadap lingkungan.
Menanggapi temuan tersebut, Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat Herman Suryatman mengatakan pihaknya segera menindaklanjuti temuan terkontaminasinya Sungai Citarum oleh kandungan paracetamol dan amoxicillin.
"Saya akan cek dan ricek untuk memastikan seandainya ada kandungan-kandungan tersebut," kata Herman di Gedung Sate Bandung, Selasa (10/7).
Herman mengatakan pihaknya akan melakukan penelusuran hingga ke sumbernya untuk mencegah adanya dampak kerusakan akibat kontaminasi kandungan bahan obat tersebut. Pihaknya juga akan berkoordinasi dengan berbagai fasilitas layanan kesehatan yang ada di dekat DAS Citarum untuk memastikan mereka mengolah limbah medis dengan baik.
"Dari mana sumbernya, kami akan peluruhan ke Puskesmas atau rumah sakit kami akan cek dan ricek. Kalau benar -ada- kami akan ingatkan secepatnya jangan buang obat sembarangan," katanya.
Herman juga mengatakan pihaknya berkomunikasi dengan BRIN terkait hasil penelitian tersebut untuk bisa mengungkap sumber kontaminasi.
"Kita juga akan konfirmasi juga hasil riset BRIN ini. Kami harus memastikan air Sungai Citarum bukan hanya aliran induknya yang harus bersih tapi termasuk dengan jaringannya harus rendah polusi," katanya.
Pemerintah Provinsi Jabar sendiri, bersama Satgas Citarum Harum, tengah menggenjot peningkatan indeks kualitas air Sungai Citarum hingga ke angka 60 pada Desember 2025 mendatang. Agar target tersebut tercapai, pengawasan terhadap Sungai Citarum terus ditingkatkan, sehingga realisasi program Citarum Harum bisa terwujud.
"Citarum ini saat ini 50 lebih indeks kualitas airnya. Target Pak Gubernur sesuai dengan harapan Pak Presiden tahun 2025 bisa 60 kami sedang berikhtiar. Kami harus memastikan kondisi air Sungai Citarum rendah polusi, idealnya tidak ada," tuturnya.