Industri Daur Ulang Baterai Kendaraan Listrik Mulai Tumbuh di RI, Ini Prosesnya
Industri daur ulang baterai kendaraan listrik mulai berkembang di Indonesia. Semua baterai dalam katlgori Lithuim ion dapat diproses daur ulang untuk dijadikan baterai baru.
CEO dan Founder Startup Relith, Agung Nugroho, mengatakan Lithium ion battery (Li-ion) adalah baterai isi ulang yang menggunakan ion lithium untuk mentransfer muatan antara elektroda positif dan negatif selama pengosongan dan pengisian daya. Baterai ini memiliki kepadatan energi yang tinggi, bobot yang ringan, dan dapat diisi ulang.
"Di-recycle jadinya litium yang baru, nikel yang baru, cobalt yang baru. Yang bisa dipakai untuk bikin baterai lagi," ujar Agung dalam acara "International Battery Sumit 2024", Selasa (30/7).
Agung mengatakan, baterai yang bisa di daur ulang berasal dari beragam produk mulai dari kendaraan listrik sampai dengan elektronik. Menurutnya, proses yang berhasil ditemukan oleh Relith membuat baterai yang tadinya sudah rusak dapat diolah kembali menjadi baterai baru dan proses tersebut dapat diulang secara beberapa kali.
"Jadi itu bisa baterai bekas dimasukin ke proses recycle. Jadinya komponen-komponen lagi yang nanti dibikin baterai lagi. Itu bisa diulang seribu kali, seratus ribu kali tidak masalah," ujarnya.
Mengenai pemulihan kualitas baterai daur ulang, ia memastikan angkanya mendekati 100 % atau tidak berbeda jauh dengan kualitas baterai baru.
Pemerintah Diminta Setop Ekspor Baterai Bekas
Agung berharap, pemerintah dapat berpihak pada pemain lokal untuk dapat memajukan industri daur ulang baterai. Dengan kata lain pemerintah harus berani untuk mendukung riset dan pengembangan inovasi dari anak bangsa.
"Pemerintah harus investasi juga di orang-orangnya, dan juga ada kebijakan-kebijakan," ujarnya.
Adapun, kebijakan yang dimaksud adalah mengenai pembatasan atau pelarangan ekspor baterai bekas dari Indonesia. Menurutnya, sudah seharusnya pemerintah menjaga kuantitas baterai bekas untuk dapat mendorong industri daur ulang baterai nasional.
"Selama baterai bekasnya di ekspor keluar terus, Indonesia kurang terus baterainya. Jadi yang udah masuk Indonesia harus diolah di lokal Indonesia, kalau bisa oleh perusahaan Indonesia," ungkapnya.
Dia mengatakan, kebijakan itu perlu diterapkan karena kebutuhan baterai bekas pakai di Indonesia masih sangat sedikit bila ingin mencapai kapasitas daur ulang setingkat industri.
Ia menjelaskan, membangun industri daur ulang baterai dibutuhkan setidaknya 10 ribu ton baterai bekas setiap tahunnya. Indonesia saat ini baru mampu menghasilkan 600 ton setiap tahunnya.
"Karena raw materialnya saja tidak cukup. Jadi belum jadi industri. Belum bisa dibikin kapasitasnya," ujar Agung.