BMKG Waspada Bencana Imbas La Nina hingga April 2025, Ini Wilayah Terdampak

ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/tom.
Petugas memantau alat pengukur penyinaran matahari di BMKG, Jakarta, Jumat (8/11/2024).
25/11/2024, 12.23 WIB

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengingatkan masyarakat untuk mewaspadai fenomena masuknya musim hujan yang bersamaan dengan La Nina Lemah. Hal ini mengakibatkan potensi penambahan curah hujan hingga 20-40 persen.

Fenomena La Nina diperkirakan berlangsung mulai November hingga April 2025. La Nina adalah fenomena anomali iklim global yang diakibatkan oleh suhu permukaan laut di Samudra Pasifik yang lebih dingin dibandingkan biasanya.

"Kami mengimbau masyarakat untuk mempersiapkan diri menghadapinya karena fenomena ini dapat berdampak signifikan pada kondisi cuaca," ujar Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati di Jakarta, Jumat (22/11/2024).

Dwikorita mengatakan dampak La Nina tersebut terutama bagi masyarakat yang bermukim di wilayah perbukitan, lereng-lereng gunung, dataran tinggi, juga sepanjang bantaran sungai. Fenomena La Nina berpotensi mengakibatkan berbagai bencana hidrometeorologi, seperti banjir, banjir bandang, tanah longsor, angin kencang, dan puting beliung.

Dia mengatakan, bencana tersebut termasuk banjir lahar hujan yang berpotensi terjadi ketika air hujan bercampur dengan material vulkanik dari gunung berapi berupa pasir, abu, dan bebatuan serta kayu atau pohon. Hal itu terutama untuk gunung api yang saat ini sedang atau baru saja mengalami erupsi. Maka dari itu, menurutnya, dibutuhkan kewaspadaan dan kesiap-siagaan seluruh komponen baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat.

Wilayah Terdampak

Dwikorita mengatakan beberapa faktor utama yang mempengaruhi cuaca dan iklim di Indonesia pada 2025 adalah penyimpangan suhu muka laut di Samudra Pasifik, Samudra Hindia, dan perairan Indonesia.

Penyimpangan suhu di wilayah ini berhubungan erat dengan fenomena La Nina Lemah, yang berpotensi menyebabkan peningkatan curah hujan di Indonesia. Selain itu, fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) juga mempengaruhi distribusi hujan di wilayah Indonesia.

Berdasarkan analisis dinamika atmosfer dan lautan, BMKG memprediksi sebagian besar wilayah Indonesia pada 2025 akan mengalami curah hujan tahunan dalam kategori normal, dengan jumlah berkisar antara 1.000 hingga 5.000 mm per tahun.

Sebanyak 67% wilayah Indonesia diprediksi akan menerima curah hujan lebih dari 2.500 mm per tahun (kategori tinggi), meliputi sebagian besar Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau bagian barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Lampung bagian utara, sebagian besar Kalimantan, Sulawesi bagian tengah dan selatan, serta sebagian besar wilayah Papua.

Sementara itu, 15% wilayah diprediksi mengalami curah hujan di atas normal, termasuk sebagian kecil Sumatera, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Kepulauan Maluku, dan Papua bagian tengah.

Di sisi lain, 1% wilayah Indonesia diprediksi akan mengalami curah hujan di bawah normal, seperti di Sumatera Selatan bagian barat, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku Utara.

Dampak Positif La Nina

Meski berpotensi menimbulkan bencana hidrometeorologi, kata Dwikorita, fenomena La Nina lemah memiliki sejumlah peluang positif yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat jika dimitigasi secara tepat. Air hujan melimpah akibat La Nina dapat dimanfaatkan secara optimal guna mendukung ketahanan pangan dan air serta energi.

Di sektor pertanian, papar Dwikorita, petani memiliki peluang percepatan tanam, perluasan area tanam padi baik di lahan sawah irigasi, tadah hujan, maupun ladang. Hal ini selaras dengan Program Asta Cita yang digagas Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang berkeinginan Indonesia memiliki ketahanan pangan yang kuat dan mencapai swasembada pangan.

Dengan langkah mitigasi yang tepat, dia mengatakan, tingginya curah hujan akibat La Nina juga bermanfaat dalam meningkatkan kapasitas tampungan air di bendungan dan waduk. Hal ini akan mendukung operasional pembangkit listrik tenaga air secara maksimum sehingga menjamin pasokan energi listrik. Masyarakat dapat memanen air hujan atau rainwater harvesting dan digunakan saat musim kemarau tiba guna mengantisipasi kekeringan.

"Untuk itu, penting untuk terus menjaga kualitas infrastruktur seperti bendungan dan waduk agar siap digunakan sepanjang tahun. Selain itu, optimalisasi drainase dan tampungan air harus disiapkan guna menghadapi musim kemarau berikutnya," tuturnya.