Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro mengungkapkan dua faktor yang perlu dilakukan untuk mengembangkan Energi Baru Terbarukan (EBT). Pengembangan EBT ini perlu untuk menciptakan energi yang ramah lingkungan.  

Faktor pertama adalah menciptakan kepastian hukum dengan membuat Undang-undang Energi Baru Terbarukan. Investor akan datang berinvestasi jika ada kepastian hukum.

Kedua, adalah insentif pajak bagi pelaku usaha untuk menjalankan EBT. Insentif ini akan memberikan daya tarik bagi pelaku usaha untuk mengembangkan EBT. "Saya pikir UU EBT, dan insentif harus ada," kata dia di Jakarta, Rabu (19/12).

Dukungan itu perlu karena pertumbuhan ekonomi masih rendah. Sehingga, elektrifikasi turun. Padahal, EBT dibutuhkan untuk menggantikan batu bara sebagai sumber energi.

Purnomo mengatakan banyaknya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang bersumber dari batu bara dan gas mulai tumbuh sejak 20 tahun lalu. Ini disebabkan tingginya kebutuhan listrik pada saat itu, karena pertumuhan ekonomi yang mencapai 8%.

Oleh karena itu, pemerintah perlu mengejar pembangunan pembangkit listrik untuk memenuhi kebutuhan. Menteri ESDM yang menjabat pada periode 2000-2009 mengatakan bahwa batu bara dan gas merupakan sumber energi murah dan berlimpah.

Sehingga pemerintah memilih mendiversifikasikan pembangkit listrik berasal dari sumber energi batu bara dan gas. "Waktu itu kami bicara deversifikasi, tapi kita tidak bicara renewble," kata dia, di Jakarta, Rabu (19/12).

(Baca: Riset IAE: 2023, Kebutuhan Batu Bara Indonesia dan Tiongkok Turun)

Semenjak itu, pemerintah bergantung pada pembangunan pembangkit listrik yang bersumber dari batu bara dan gas. Sehingga, tidak mengarah pada pembangunan pembangkit listrik energi baru dan terbarukan (EBT).