Aturan perdagangan emisi karbon hampir rampung. Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyebut Presiden Joko Widodo akan mengeluarkan aturannya pada awal Desember 2020.
Potensi pendapatan dari perdagangan itu cukup menjanjikan. Luhut mengatakan Indonesia memiliki 75% hingga 85% kredit emisi karbon yang berasal dari hutan bakau, lahan gambut, padang lamun, dan terumbu karang.
“Awal bulan depan, kita bisa melihat keputusan baru presiden tentang kredit karbon,” kata dia dalam The 9th Indonesia Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Virtual Conference and Exhibition 2020, Rabu (25/11).
Pemerintah juga berencana merestorasi 650 ribu hektare hutan mangrove atau bakau dalam empat tahun ke depan. Program ini bakal menggandeng Bank Dunia karena telah menyetujui pinjaman senilai US$ 400 juta (sekitar Rp 5,7 triliun).
Saat ini dunia sedang bertransisi dari bahan bakar fosil ke energi baru terbarukan. Luhut menyinggung soal pentingnya Indonesia melakukan diversifikasi sumber energi. Apalagi, impor minyak selama ini telah memperlebar neraca dagang.
Diversifikasi pun menjadi tak terelakkan karena pemakaian jumlah bahan bakar fosil terus menipis. Selama bertahun-tahun Indonesia tak berhasil menemukan cadangan baru yang signifikan jumlahnya.
Pemerintah mendorong agar industri mulai bertransformasi. Misalnya, melalui pengembangan mobil listrik dan baterai kendaraan listrik. “Tentu saja, swasta dapat ikut,” kata Luhut.
Perdagangan Karbon Hanya Untungkan Perusahaan
Perdagangan karbon atau carbon trading merupakan kompensasi yang diberikan oleh negara-negara industri maju (penghasil karbon) untuk membayar kerusakan lingkungan akibat asap karbondioksida kepada negara pemilik hutan (penyerap karbon). Mekanisme perdagangannya telah menjadi solusi di beberapa negara dalam mengurangi gas rumah kaca dan perubahan iklim.
Rencana penerapannya sempat mendapat penolakan dari organisasi lingkungan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) berpendapat perdagangan karbon merupakan upaya makelar dalam mencari keuntungan untuk menciptakan perdagangan baru.
Yang merasakan hasilnya adalah perusahaan yang berdagang karbon. "Ini motifnya bisnis, yang menikmati bukan alam dan mereka yang hidup di sekitar alam," ujar Manager Kampanye Iklim Eksekutif Nasional WALHI Yuyun Harmono saat dihubungi Katadata.co.id, beberapa waktu lalu.
Tak hanya itu, ia juga menilai perdagangan karbon berpotensi memberikan celah bagi perusahaan yang bergerak di industri ekstraktif untuk tidak benar-benar secara serius menurunkan emisi gas buang. Padahal, perusahaan yang bergerak di industri itu seharusnya dapat mentransformasi bisnisnya dari energi tak ramah lingkungan ke baru terbarukan (EBT).
Namun dengan adanya karbon kredit, sektor industri dapat leluasa mengompensasi, membayar sejumlah uang tanpa harus repot-repot menjaga emisi gas buang yang dikeluarkan. "Mereka akan melanjutkan aktivitasnya, terus menghasilkan emisi dengan membeli karbon di tempat lain," kata Yuyun. Pemerintah sebaiknya tidak melegalkan aturan ini hanya demi mencari cuan.