Problem Besar Rancangan Sanksi Administratif di Kawasan Hutan

123rf.com/Anwar Sadad
Ilustrasi. RPP sanksi administrasi di kawasan hutan dianggap langkah mundur pemerintah.
27/1/2021, 12.26 WIB

Aturan turunan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mulai pemerintah godok. Draf rancangan peraturan pemerintah atau RPP tentang tata cara pengenaan sanksi administratif di dalam kawasan hutan termasuk yang sedang dibahas.

Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Melky Nahar berpendapat RPP tersebut sebenarnya hanya menunjukan orientasi pemerintah terhadap perburuan rente. Ia menilai aturannya tak menampilkan semangat memperbaiki lingkungan.

Pencegahan kerusakan hutan justru tidak muncul dalam RPP itu. “Dari drafnya tampak menunjukkan boleh merusak kawasan hutan, apalagi yang sudah terlanjur, yang penting bayar,” kata Melky kepada Katadata.co.id, Selasa (26/1).

Sebelum UU Cipta Kerja muncul, seluruh perbuatan itu masuk kategori pidana. Hal ini berdasarkan asas hukum premium remedium alias pidana sebagai pilihan utama berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup atau UU PPLH. Dengan begitu, sanksi administrasi dan pidana berjalan bersamaan.

Dalam draf RPP terbaru, hanya ada sanksi administrasi. Jelas semangatnya sejalan dengan UU Cipta Kerja. “Untuk kepentingan oligarki dan mengabaikan keselamatan rakyat serta lingkungan,” ucapnya.

Pemerintah justru tak berorientasi lagi pada aspek pemulihan lingkungan. Tapi sebaliknya, mencari keuntungan dari pemberian sanksi. ”Jadi, semacam kompromi untuk mendapat keuntungan yang lebih besar dari kejahatan yang dilakukan korporasi," kata Melky.

Kehadiran sanksi itu juga belum tentu memasukkan biaya kerusakan dan derita yang dialami warga dan lingkungan. Problem utamanya, menurut Melku, ada dalam UU Cipta Kerja yang hadir untuk mendorong investasi. “Solusinya, ya, revisi atau cabut UU-nya,” ujarnya. 

Langkah Mundur Pemerintah Tegakkan Hukum di Kawasan Hutan

Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara Kiki Taufik menyorot Pasal 3 pada draf RPP tersebut. Isinya, kegiatan usaha yang tidak memiliki izin kehutanan dikenakan sanksi administrasi. “Keberadaan pasal ini menghapus sanksi pidana terhadap perusahaan yang beroperasi dalam kawasan hutan atau di luarnya tapi memanfaatkan hasil hutan kayu,” katanya. 

Apabila RPP itu disahkan, perkebunan sawit dalam kawasan hutan bukan lagi sebagai kejahatan. Para perusahaan justru akan diberi waktu tiga tahun untuk penyesuaian, termasuk melengkapi izinnya.

Perusahaan yang melanggar aturan hanya dikenakan sanksi administasi dengan wajib membayar provisi sumber daya hutan (PSDH) dan dan reboisasi (DR) saja. “Pembayaran denda ini tidak akan memberi efek jera karena tidak ada data berapa kubikasi yang telah mereka babat,” kata Kiki.

Dampak lebih besarnya, kerusakan hutan tidak bisa dikuantifikasi. “Maka, menurut kami, draf RPP Itu adalah langkah mundur penegakan hukum di Indonesia,” ucapnya.  

Grafik Databoks di bawah ini menampilkan kerusakan hutan di Indonesia sejak 2001 hingga 2019. Angkanya mencapai 26,8 juta hektare. Lahan tutupan pohon di Indonesia, termasuk hutan primer dan sekunder, terus mengalami deforestasi.

Penurunan paling besar terjadi pada 2016, yakni seluas 2,42 juta hektare, meski angkanya semakin berkurang hingga sebesar 1,18 juta hektar pada 2019. Namun total deforestasi dalam 20 tahun terakhir tersebut telah mengurangi 17% lahan tutupan pohon di Indonesia sejak 2000.

Data Global Forest Watch menunjukkan deforestasi paling banyak terjadi di hutan dan lahan Sumatera dan Kalimantan. Riau memiliki luas deforestasi paling besar pada jangka waktu tersebut, yakni 3,81 juta hektare.

Reporter: Verda Nano Setiawan