Kesepakatan Paris 2015 yang ditandatangani hampir 200 negara sepakat mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) setengahnya sebelum 2030 dan mencapai 'nol bersih' pada 2050 untuk membatasi pemanasan global 1,5 °C.
Indonesia mempunyai target untuk mengurangi emisi ini sebesar 29 persen dari baseline pada 2030. Komitmen ini merupakan kontribusi Indonesia terhadap kesepakatan dunia untuk mengendalikan pemanasan global tidak lebih dari dua derajat celcius.
Upaya menekan efek GRK atau gas rumah kaca juga dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara. Menteri BUMN Erick Thohir bahkan menargetkan Indonesia menjadi produsen energi hijau, bukan hanya pengguna green energy.
Menurut Erick, prinsip program dekarbonisasi BUMN bertujuan mendukung penurunan gas rumah kaca nasional. Hal itu meliputi, pertama, Program Reduce Emission Initiatives. Kedua, Program Build Adjacent Business Initiatives. Adapun ketiga, Program Explore "Step-out" Opportunities Initiatives.
“Inilah yang disebut kita merdeka berdaulat atas energi dan sumber daya alam Indonesia dan itu peluang yang harus dimaksimalkan,” kata Erick beberapa waktu lalu.
Erick mengatakan, sebagai Menteri terus mendorong seluruh BUMN memiliki peta jalan yang terukur menuju zero emission pada 2060. Dengan cara itu di masa depan Indonesia akan menggunakan 100 persen energi ramah lingkungan.
Di antara target green energy dalam program Reduce-Emission-Initiatives adalah dengan co-firing Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Program ini mencampurkan bahan bakar batu bara dengan biomassa di sekitar pembangkit seperti sekam pagi, limbah sawit, sampah dan serbuk gergaji.
Sejauh ini, PLN telah melaksanakan ujicoba co-firing pada 26 PLTU dengan porsi biomassa sebesar 1 – 5 persen. Pada 2024, diperkirakan kapasitas total co-firing pada PLTU PLN mencapai 18 GW. Nantinya, pencampuran bahan bakar ini akan dilakukan di seluruh 52 PLTU.
Untuk mencapai target netral karbon pada 2060, PLN mulai menggantikan PLTU dan Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) dengan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) sebesar 1,1 Giga Watt (GW) pada 2025.
"Kami bangun time line, yakni 2025-2030 sudah haramkan PLTU baru, bahkan diharapkan di 2025 ada replacement (penggantian) PLTU dan PLTMG dengan pembangkit listrik EBT," kata Wakil Dirut PLN Darmawan Prasodjo saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI (27/05/2021).
Upaya lainnya dengan konversi Pembangkit Listrik Tenaga Disel (PLTD) atau PLTU ke Energi Baru Terbarukan (EBT).
PLN secara bertahap sampai 2026 akan mengkonversi PLTD berkapasitas 588 megawatt dengan pembangkit listrik tenaga surya dan sumber daya alam yang menjadi unggulan di daerah bersangkutan.
Selain itu, PLN bekerja sama dengan Perusahaan Gas Negara (PGN) mengubah sejumlah PLTD menjadi pembangkit listrik tenaga gas uap (PLTGU). Program gasifikasi ini menyasar daerah terpencil.
PLN juga mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya seperti PLTS terapung di Cirata, Jawa Barat, yang bisa menghasilkan 145 MW listrik.
Selain itu, PLN juga sedang mengembangkan PLTS Atap, yang dipasang di atap bangunan pelanggan dengan target mencapai 3,5 Giga Watt pada 2025.
Build Adjacent Businesses Initiatives
Langkah kedua menghasilkan energi hijau adalah dengan program Build Adjacent Businesses Initiatives, yakni pengembangan geothermal atau pembangkit listrik panas bumi (PLTB) dan pengembangan baterai kendaraan listrik terintegrasi, termasuk stasiun pengisi daya kendaraan listrik EV2.
Indonesia yang berada pada kerangka tektonik dunia, mempunyai salah satu sumber daya panas bumi terbesar di dunia dengan potensi 28,5 Giga Watt electrical (GWe) yang terdiri dari resources 11.073 MW dan cadangan 17.453 MW.
Berdasarkan data terbaru Direktorat Panas Bumi, Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi tercatat sumber daya panas bumi yang telah dimanfaatkan mencapai 1.948,5 MW yang terdiri dari PLTP pada 11 Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP).
Di antara PLTB yang ada adalah PLTP Sarulla dengan kapasitas 330 MW di Sumatera Utara, PLTP Salak di Jawa Barat dengan kapasitas 377 MW dan PLTP Ulubelu milik PT Pertamina Geothermal Energy yang menghasilkan listrik 220 MW.
Adapun untuk mengantisipasi peralihan dari kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik (electric vehicle), Kementerian BUMN membentuk holding baterai listrik bernama Indonesia Battery Corporation (IBC) tahun lalu.
Perusahaan ini terdiri atas PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau MIND ID, PT Aneka Tambang (Persero) Tbk atau Antam, PT Pertamina (Persero), dan PT PLN. Masing-masing perusahaan memiliki saham 25 persen.
"Dengan adanya EV battery akan buat Indonesia lebih kuat dan bersahabat dengan ekonomi hijau," kata Erick.
Selain itu, pembentukan IBC juga merupakan respons pemerintah terhadap kekayaan alam di Indonesia. Salah satunya nikel yang mencapai 24 persen dari total potensi di dunia.
Untuk mendukung perkembangan kendaraan listrik, 2 BUMN yakni Pertamina dan PLN sudah menyiapkan infrastuktur stasiun pengisian baterai atau EV charging stations.
Pertamina menamakannya Green Energy Station (GES), sedangkan milik PLN bernama Stasiun Penyedia Listrik Umum (SPLU).
Program Explore ’step-out’ opportunities-Initiatives
Program lain untuk mengurangi emisi karbon adalah dengan membangun carbon capture storage yang bisa menangkap gas CO2 hasil emisi gas buang yang kemudian diolah dan bisa dimanfaatkan untuk industri.
Salah satunya dilakukan Pertamina yang menggandeng ExxonMobile mengaplikasikan teknologi CCS melalui penerapan proses injeksi CO2 ke dalam lapisan subsurface pada depleted reservoir.
Sebelumnya, Erick mengingatkan, perusahaan pelat merah harus menjunjung prinsip transformasi energi bersih sekaligus mengakselerasi ekonomi hijau.
BUMN-BUMN energi seperti PLN, Pertamina, dan industri mineral dan batu bara diharapkan bisa merespons dan menjalankan transformasi energi bersih dan mengurangi emisi karbon. “Karena bagaimana pun ini tanggung jawab bersama demi keberlanjutan lingkungan hidup,” katanya.
Ia juga mengatakan, usaha gencar BUMN untuk bertransformasi dengan melakukan berbagai program dan inovasi model bisnis ini harus memandang tanggung jawab untuk mengurangi emisi bukan sebagai beban.
Tetapi sebagai peluang untuk melakukan transformasi ekonomi yang rendah karbon.
(Tim Riset Katadata)