Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, memastikan Proyek Sonic Bay akan tetap berjalan di Kawasan Industri Teluk Weda, Maluku Utara. Hal itu dia katakan setelah dua investornya hengkang dari proyek tersebut, yaitu perusahaan kimia asal Jerman, BASF, dan perusahaan pertambangan Prancis, Eramet.
Dia mengatakan, keluarnya dua perusahaan asal Eropa tersebut bukanlah akhir dari proyek Sonic Bay. Pasalnya, selain dua perusahaan tersebut, masih banyak perusahaan yang berminat untuk melakukan investasi di fasilitas pemurnian nikel dan kobalt di Indonesia.
"Banyak yang mau (investasi) kok," ujar Arifin saat ditemui di Kantor Direktorat Jendral Minyak dan Gas Bumi, Jumat (27/6).
Arifin mengatakan, pemerintah akan mencari kembali perusahaan yang akan melakukan investasi di proyek hilirisasi nikel dan kobalt sebagai bahan baku baterai di Sonic Bay, Maluku Utara.
"Ya kalau mundur (Eramet dan BASF) ya kita cari (Perusahaan) yang lain," ujarnya.
Sebagaimana diketahui, Sonic Bay merupakan proyek smelter nikel-kobalt untuk bahan baku baterai kendaraan listrik di Kawasan Industri Teluk Weda, Maluku Utara. Pada awalnya, proyek tersebut ditargetkan untuk berproduksi pada 2026.
BASF dan Eramet sebelumnya akan menanamkan investasi di sektor hilirisasi baterai kendaraan listrik senilai US$ 2,6 Miliar atau Rp 42,7 triliun.
BKPM Sebut Investasi Baterai Masih Menarik
Sebelumnya, Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM Nurul Ichwan menyampaikan bahwa keputusan BASF dan Eramet untuk membatalkan investasinya adalah keputusan bisnis yang diperoleh setelah melakukan berbagai evaluasi. Dia menegaskan bahwa keputusan tersebut telah diketahui oleh Pemerintah Indonesia dan tidak menurunkan minat investor asing untuk menanamkan modalnya pada sektor hilirisasi di Indonesia.
Dia mengatakan, pembatalan bisnis itu merupakan keputusan bisnis yang dilakukan oleh BASF dan Eramet yang berdasarkan pada perubahan kondisi pasar nikel, khususnya yang menjadi suplai bahan baku baterai kendaraan listrik.
Dengan demikian, perusahaan ini memutuskan tidak ada lagi kebutuhan untuk melakukan investasi suplai material baterai kendaraan listrik.
”Kami dari awal terus mengawal rencana investasi ini. Namun pada perjalanannya, perusahaan beralih fokus, sehingga pada akhirnya mengeluarkan keputusan bisnis membatalkan rencana investasi proyek Sonic Bay ini,” ujarnya di Jakarta, Kamis (27/6).
Ichwan mengatakan, pengembangan investasi, khususnya di sektor hilirisasi baterai kendaraan listrik masih sangat potensial di pasar domestik walaupun perusahaan tersebut membatalkan investasinya. Apalagi, baru-baru saja Indonesia mendapat peringkat 27 pada World Competitiveness Ranking (WCR) 2024. Top 3 terbaik di wilayah ASEAN.
Dia mengatakan, kebijakan hilirisasi Indonesia masih memiliki daya tarik tinggi di mata para investor asing. Bahkan menurutnya beberapa proyek hilirisasi di tanah air sudah memasuki tahapan realisasi.
Proyek tersebut misalnya smelter tembaga terbesar di dunia milik PT Freeport Indonesia di Gresik, Jawa Timur yang resmi beroperasi mulai 27 Juni 2024. Selanjutnya produksi massal baterai kendaraan listrik pertama di Indonesia yang akan dilakukan oleh PT Hyundai LG Indonesia (HLI) Green Power di Karawang, Jawa Barat pada Juli 2024, serta akan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).