Wacana penyesuaian subsidi BBM dapat menyasar pembatasan kendaraan pribadi roda empat ketimbang untuk seluruh jenis kendaraan. Skema ini dapat mengarahkan ulang subsidi yang tepat sasaran dan membuka ruang anggaran untuk mengadakan BBM rendah sulfur.
Fakta ini disampaikan oleh peneliti senior Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Muhammad Ishak Razak.
“Bila penyesuaian diberlakukan pada kendaraan penumpang pribadi yang mengonsumsi 43,1 persen BBM bersubsidi, dampak inflasinya sekitar 0,37 persen,” ujarnya kepada Katadata Green (26/7).
Menurut dia, skema ini lebih tepat dibanding penghapusan subsidi secara menyeluruh, yang akan menghasilkan inflasi sebesar 5,3 persen.
Ishak mengungkapkan, saat ini populasi kendaraan penumpang pribadi sebanyak 29,7 juta unit. Sementara, jumlah populasi sepeda motor dan kendaraan umum yang sebanyak 113,8 juta unit mengkonsumsi 53,9 persen BBM bersubsidi.
Dia menambahkan, 10 persen rumah tangga ekonomi terbawah atau 250 juta orang di Indonesia mengeluarkan ongkos BBM sebesar Rp108.400/bulan, sementara 10 persen teratas mengeluarkan Rp482.700 ribu/bulan.
Namun, menurut Ishak, lantaran pendapatan masyarakat terbawah terbatas, porsi pengeluaran BBM-nya mencapai 7 persen dari pendapatan, sementara penduduk paling kaya hanya 3,5 persen.
“Pengeluaran rumah tangga miskin dua kali lipat dibandingkan penduduk kaya,” ujarnya.
Penyesuaian subsidi BBM, ujar Ishak, tentu akan membuka ruang fiskal pemerintah, sehingga memungkinkan adanya realokasi anggaran untuk pembelanjaan lain seperti untuk infrastruktur, pembiayaan kesehatan, pendidikan, dan lainnya.
Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel Ahmad Safrudin sependapat. Menurut dia, subsidi harus disesuaikan agar bisa diakses oleh orang-orang yang layak memperoleh BBM bersubsidi, terlebih lagi yang kualitasnya sudah ditingkatkan.
“Otomatis, kelompok masyarakat golongan menengah-atas tidak berhak atas subsidi, dan harus bersedia menerima harga BBM yang lebih mahal karena adanya incremental cost atau biaya tambahan,” ujarnya pada Katadata Green (31/7).
Untuk itu, kata Ahmad, pemerintah harus cermat memastikan agar penyesuaian harga BBM tepat sasaran dan menghasilkan dampak inflasi yang minim. Pemerintah juga harus mengambil langkah antisipasi untuk mengurangi dampak inflasi.
“Misalnya, melalui pembagian bantuan sosial,” ujarnya.
Selaras, Ishak menekankan pemerintah harus turut menyediakan jaring pengaman sosial yang dapat meredam dampak inflasi.
“Terutama untuk masyarakat menengah bawah, dan kelompok yang sebelumnya belum tersentuh bantuan sosial,” katanya.
Dia juga menilai pemerintah harus meningkatkan kapasitas kilang minyak, agar di masa depan dapat memproduksi BBM rendah sulfur di dalam negeri.
Penyesuaian BBM untuk Kualitas Udara Lebih Baik
Ahmad menyampaikan, penyesuaian subsidi untuk menyediakan BBM rendah sulfur untuk peningkatan kualitas udara sejalan dengan kebijakan pemerintah meningkatkan standar bahan bakar.
Pada 2017, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan Peraturan Menteri LHK Nomor 20 Tahun 2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, Kategori N, dan Kategori O.
Peraturan ini mengatur adopsi standar EURO IV untuk bahan bakar kendaraan, salah satunya tingkat sulfur yang rendah.
Ahmad menyampaikan, hal tersebut salah satu dari lima langkah untuk menekan emisi dari transportasi.
Selain itu ada peningkatan teknologi kendaraan, pembenahan lalu lintas dan transportasi publik, penerapan insentif/disinsentif, dan penegakan hukum.
“Peningkatan kualitas bahan bakar dan teknologi kendaraan bisa diterapkan secara paralel dengan langkah lainnya, tapi tidak bisa dilewati,” ujarnya.
Di kesempatan lain, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kemenko Marves Rachmat Kaimuddin menegaskan, pemerintah tidak berencana untuk menaikkan harga BBM bersubsidi. Pemerintah hanya akan menaikkan kualitas BBM seraya memastikan alokasi subsidi BBM tepat menyasar golongan yang benar-benar membutuhkan.
“Uang negara harus benar-benar dinikmati oleh penduduk yang membutuhkan,” katanya dalam media workshop bertajuk “Tekan Emisi, Perbaiki Kualitas Udara: Kebijakan Baru Subsidi BBM” yang diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) RI bersama Katadata Green di Ashley Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Senin (5/8).
Menurut dia, kualitas BBM di Indonesia masih jauh tertinggal dibanding negara lain di dunia. Bahkan, di kawasan Asia Tenggara, Indonesia masih tertinggal oleh Vietnam dan Thailand.
Beberapa jenis bahan bakar lain, seperti bensin RON 90, bensin RON 91, dan diesel CN 48 masih melampaui batas maksimal kandungan sulfur di atas 50 parts per million (PPM). Rachmat mengatakan akan mencapai target penurunan sampai 50 PPM secara bertahap.
“Kemenko Marves melihat lingkungan dan penyediaan BBM ramah lingkungan merupakan isu mendesak yang harus segera diselesaikan,” ujar Rachmat.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah akan membatasi subsidi BBM pada 17 Agustus mendatang. Langkah ini diambil karena saat ini subsidi BBM tidak tepat sasaran dan menggunakan bahan bakar berkualitas rendah.
Luhut berpendapat pembatasan ini dapat mengurangi pengidap dan ongkos pengobatan penyakit pernapasan, mengurangi beban APBN, dan menyediakan BBM rendah sulfur.