AI Modern Picu Lonjakan Pemakaian Listrik 4 Kali Lipat dalam 0,2 Detik

TheDigitalArtist-pixabay.com
Ilustrasi data center
Penulis: Kamila Meilina
26/8/2025, 09.25 WIB

Penggunaan model AI terbaru dapat memicu lonjakan daya listrik hingga empat kali lipat hanya dalam 200 milidetik atau 0,2 detik. Oleh karena itu, stabilitas energi kini menjadi perhatian utama.

Professor of Mechanical Engineering di National University of Singapore (NUS) Lee Poh Seng mengungkapkan teknologi AI generasi terbaru seperti Lama 3.1 dengan delapan miliar parameter tidak hanya menuntut perangkat keras berdaya tinggi, tetapi juga menciptakan pola konsumsi listrik yang ekstrem.

“Lonjakan daya bisa terjadi sangat cepat, bahkan hanya dalam hitungan 200 milidetik, dengan intensitas mencapai empat kali lipat dari pemakaian normal. Hal ini berpotensi menimbulkan ketidakstabilan pada sistem energi jika tidak diantisipasi,” kata Lee, dalam NeutraDC Summit 2025, di Nusa Dua, Bali, Senin (25/8). 

Dalam beberapa tahun terakhir, fokus pengembangan AI banyak diarahkan pada inovasi perangkat keras, mulai dari GPU NVIDIA RTX 4090 hingga cip generasi terbaru seperti X200 dan Blackwell. Namun, menurut Lee, tantangan terbesar justru ada pada penopang infrastruktur energi.

“Penggunaan AI dengan miliaran parameter menimbulkan lonjakan listrik besar dalam milidetik. Artinya, infrastruktur daya harus benar-benar dirancang untuk mendukung reliabilitas sistem, bukan hanya mengandalkan kecepatan cip,” katanya.

Selain sisi teknis, aspek keberlanjutan menjadi perhatian utama. Diskusi tentang efisiensi energi kini berkembang ke arah pemanfaatan blockchain berbasis sistem kuantum. 

Hal itu karena teknologi kuantum diyakini dapat mendukung efisiensi energi, menyediakan algoritma pembayaran yang lebih transparan, sekaligus mengintegrasikan mekanisme offset karbon. Dengan begitu, solusi yang dihasilkan tidak hanya mendorong inovasi. tetapi juga ramah lingkungan.

APAC - Africa Area Manager EAE Elektrik Semih Ural menegaskan pentingnya kolaborasi lintas-sektor untuk menjawab tantangan tersebut. Menurut dia, ekosistem riset dan industri selama ini berjalan dalam koridornya sendiri, padahal integrasi diperlukan agar adopsi solusi berkelanjutan dapat dipercepat.

Ia mencontohkan keberadaan Sustainable Tropical Data Center Testbed di NUS, yang selama lebih dari tiga tahun menjadi wadah kolaborasi antara akademisi, peneliti hingga pelaku industri. Platform ini memungkinkan pengembangan bersama (co-innovation) untuk solusi data center yang hemat energi sekaligus siap diadopsi industri.

“Riset di laboratorium biasanya berlangsung dalam lingkungan yang sangat terkendali. Akan tetapi, ketika masuk ke dunia nyata, seringkali butuh waktu puluhan tahun untuk bisa diadopsi secara luas. Melalui co-innovation platform, adopsi bisa lebih cepat karena riset langsung diuji dengan tantangan praktis,” kata Semih.

Semih menekankan fenomena lonjakan daya listrik akibat AI bersifat burst workload, yakni beban komputasi yang tiba-tiba melonjak. Oleh karena itu, strategi penjadwalan atau workload scheduling sangat penting agar kebutuhan listrik tetap sejalan dengan kapasitas energi yang tersedia.

“Dengan pendekatan kolaboratif, kami bisa menyelaraskan jadwal beban kerja AI dengan ketersediaan energi. Ini memungkinkan performa tinggi tetap tercapai tanpa mengorbankan kestabilan sistem listrik,” ujarnya.

Menurut dia, integrasi antara daya, perangkat keras, dan algoritma AI akan menjadi kunci dalam menjawab tantangan skala besar. Tanpa itu, pertumbuhan AI justru bisa menimbulkan beban serius pada infrastruktur energi global.

Fenomena lonjakan listrik akibat AI modern menunjukkan bahwa era komputasi besar-besaran menuntut inovasi tidak hanya di bidang perangkat keras, tetapi juga di sisi energi dan keberlanjutan.

“Langkah selanjutnya yakni bagaimana kami bisa mengintegrasikan riset dan industri untuk menciptakan sistem AI yang tidak hanya mendorong inovasi, tetapi juga mendukung keberlanjutan,” kata Semih.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Kamila Meilina