Mempercepat Transisi Energi Berbekal Skema Pendanaan yang Tepat

Katadata
Francois de Maricourt
Penulis: Shabrina Paramacitra - Tim Riset dan Publikasi
23/9/2022, 14.56 WIB

Risiko perubahan iklim dapat memengaruhi perekonomian global, tak terkecuali Indonesia. Negeri ini terus aktif menggunakan energi fosil, sehingga membuat Indonesia memiliki urgensi dalam upaya pengurangan emisi. Namun, upaya transisi energi ini butuh pendanaan yang tepat.

Presiden Direktur PT Bank HSBC Indonesia Francois de Maricourt menuturkan, HSBC menyadari upaya transisi menuju ekonomi rendah karbon dan energi bersih membutuhkan biaya besar.

“Indonesia saja diperkirakan membutuhkan pembiayaan lebih dari US$300 juta dalam implementasi mitigasi aksi sesuai program Nationally Determined Contribution (NDC),” ucap Francois dalam HSBC Summit 2022, di Jakarta, Rabu (14/9/2022).

Menurutnya, dunia sedang berjuang menghadapi krisis iklim. Oleh karena itu, secara global tengah berjalan upaya transisi menuju ekonomi rendah karbon dan berkelanjutan. Termasuk, memanfaatkan teknologi rendah karbon dan proyek-proyek hijau.

“Sangat penting melihat upaya yang telah dilakukan Indonesia dalam menekan emisi karbon termasuk memasukkan transisi energi sebagai program prioritas dalam Presidensi G20,” katanya.

Adapun, Co-Chair of the Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) Mark Carney mengatakan, pihaknya menyatukan visi para pelaku industri keuangan di dunia untuk melakukan transisi energi. GFANZ, yang para anggotanya mewakili 45 persen aset finansial global, mencatat kebutuhan yang tinggi untuk pencapaian target nol emisi.

Carney mengestimasikan dibutuhkan dana US$3 triliun untuk belanja modal di sektor energi. Investasi ini akan meningkatkan sekitar 2 persen produk domestik bruto (PDB) dunia. “US$1 triliun dari angka tersebut (US$3 triliun) dibutuhkan dalam pengembangan energi hijau di negara berkembang untuk transisi energi mereka,” tuturnya.

Halaman: