Perusahaan kelapa sawit Asian Agri mematok net zero emisi di 2030. Salah satu perusahaan anggota Royal Golden Eagle milik Sukanto Tanoto ini akan mengandalkan sumber energi terbarukan dan offset karbon untuk proyek dekarbonisasi.
Head of Sustainability Asian Agri, Ivan Novrizaldie mengatakan perusahaan saat ini sedang mengajukan izin kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mengelola area restorasi konservasi. Area ini nantinya akan memiliki luas 100.000 hektare atau setara dengan luas perkebunan inti kelapa sawit milik perusahaan.
“Lokasinya di mana belum bisa saya sebutkan, yang jelas kita sudah punya dan sedang mengajukan izin,” katanya kepada Katadata.
Ivan mengatakan area restorasi ini nantinya akan menjadi salah satu upaya Asian Agri mengejar target net zero di 2030. Asian Agri berkomitmen menjaga area tersebut dan mengidentifikasi jumlah karbon yang bisa diserap. Nantinya, serapan karbon itulah yang akan digunakan sebagai dasar penghitungan dekarbonisasi perusahaan.
Jika ada kelebihan serapan karbon, Asian Agri juga mengintip peluang untuk ikut bisnis perdagangan karbon. Kendati demikian, menurut Ivan, prioritas utama perusahaan adalah untuk kepentingan internal terlebih dahulu.
Guna memulai perjalanan dekarbonisasi, Asian Agri telah menghitung jumlah emisi perusahaan di 2021. Hasilnya, Asian Agri mengeluarkan 3,18 juta ton emisi karbon ekuivalen dengan standar penghitungan GHG protocol. Menurut Ivan, penyumbang emisi terbesar datang dari perubahan lahan ari ekosistem alami menjadi perkebunan sawit.
Selain mengandalkan area restorasi, Asian Agri juga berencana membangun lebih banyak pembangkit biogas. Ivan menegaskan selama ini perusahaan juga menggunakan biogas untuk pabrik-pabrik kelapa sawit di sejumlah lokasi. Bahan baku biogas ini berasal dari pengolahan limbah kelapa sawit.
Selain mengandalkan biogas, Asian Agri juga berencana memasang panel surya terutama untuk perkantoran dan perumahan karyawan. Namun, khusus untuk kendaraan listrik, Ivan mengaku penggunaannya di perkebunan sawit belum feasible.
“Kendaraan listrik torsinya lebih kecil dari konvensional. Sementara jalanan di perkebunan itu berbukit-bukit dan belum diaspal. Bebannya juga sangat berat ketika mengangkut sawit,” ujarnya.