Mengenal BPOM, Pelindung Masyarakat dari Obat dan Makanan Berbahaya

ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin/foc.
Mobil laboratorium keliling BPOM Gorontalo melakukan uji petik kandungan makanan di Kota Gorontalo, Minggu (7/8/2022).
7/11/2022, 06.55 WIB

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sedang menghadapi tekanan dari masyarakat menyusul ratusan kasus gagal ginjal akut (AKI) anak-anak. Organisasi ini sebetulnya memiliki pengalaman dan sejarah yang panjang.

Hingga Selasa, 1 November 2022, pemerintah melaporkan terdapat 325 anak-anak mengalami gagal ginjal akut. Penyebab merebaknya kasus tersebut diduga akibat konsumsi obat sirop dengan etilen glikol dan dietilen glikol yang melebihi ambang batas. Sekitar 54,7% dari kasus meninggal dunia. 

(Baca: Pasien Gagal Ginjal Akut Capai 325 Orang, 178 Meninggal Dunia

BPOM, yang bermarkas di Jakarta Pusat, salah satu tugasnya untuk mengawasi obat-obatan tersebut baik sebelum maupun selama beredar. Pengawasan terhadap obat-obatan telah menjadi bagian dari BPOM sejak 1960-an. 

Lembaga ini berawal dari sebuah inspektorat yang mengurus farmasi di Departemen Kesehatan. Pada 1967, pemerintah kemudian membentuk sebuah Direktorat Jenderal Farmasi, khusus untuk urusan obat-obatan.

Perubahan tersebut terjadi pada tahun yang sama dengan masuknya kabinet pertama Presiden Soeharto, yaitu Ampera II. Kabinet ini hanya bertahan satu tahun. Namun, Presiden Soeharto mempertahankan Menteri Kesehatannya, Gerrit Augustinus Siwabessy, yang telah menjabat sejak 1966.

Pada pertengahan 1970-an, pemerintah memperluas direktorat jenderal farmasi menjadi Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (POM). Ini merefleksikan pergeseran fokus pemerintah dari mendorong produksi ke peningkatan pengawasan.

Halaman: