PT Bank Central Asia Tbk alias BCA genap berusia 66 tahun pada hari ini. Di hari ulang tahunnya, bank swasta terbesar di Indonesia tersebut memberikan potongan harga untuk sejumlah produk.
“Dapatkan berbagai diskon-diskon enam-enam spesial HUT BCA #CintaKamiBerulang,” ucap manajemen BCA dalam website resmi perseroan dikutip Selasa (21/2).
Perusahaan memberikan diskon dalam beberapa kategori. Misalnya makanan dan minuman, fashion, hiburan, e-commerce, dan produk lifestyle.
Promo ini berlangsung dalam waktu yang bervariasi, yakni 21-22 Februari, bahkan ada yang hingga akhir Maret. Untuk info diskon selengkapnya di https://promo.bca.co.id/.
Perjalanan enam dekade BCA tidak lepas dari kiprah pengusaha Sudono Salim alias Liem Sioe Liong. Bank ini berhasil melewati tiga krisis ekonomi dan pandemi Indonesia. Mulai dari krisis moneter 1998, krisis keuangan 2008 dan 2013, dan pandemi Covid-19.
Kini, bank swasta tersebut berhasil menjadi perusahaan terbuka dengan kapitalisasi pasar terbesar se-Indonesia. Mengambil data dari RTI Business per 21 Februari 2023, kapitalisasi pasarnya mencapai Rp 1.075,5 triliun. Angka tersebut setara dengan 11,2% kapitalisasi pasar Bursa Efek Indonesia.
Sejarah BCA, Bermula dari Perusahaan Tekstil
Sebelum Sudono Salim mendirikan Bank Central Asia, taipan asal Fujian, Cina, ini memulai bisnisnya di perusahaan tekstil. Pada 1955, berdirilah NV Perseroan Dagang dan Industri Semarang Knitting Factory.
Setahun berselang, tepatnya pada 12 Oktober 1956, perusahaan berganti nama menjadi NV Bank Asia. Bank ini kemudian beralih nama lagi pada 21 Februari 1957 menjadi Bank Central Asia. Tanggal inilah yang kemudian diperingati sebagai hari lahirnya BCA.
Catatan lain dari Eddy Sutriyono dalam Kisah Sukses Liem Siu Liong tertulis, BCA adalah bank ketiga dari taipan tersebut. Mulanya, Sudono Salim mendirikan Bank Windu Kencana pada 1954, sayangnya bank ini tidak sukses.
Barulah pada 1977, BCA menjadi bank devisa karena mulai menjual valuta asing. Tiga tahun kemudian, Bank Indonesia mengizinkan BCA untuk menerbitkan dan mengedarkan kartu kredit. Bank ini pun bekerja sama dengan MasterCard agar kartu kredit ini bisa berlaku internasional.
Pada krisis moneter 1998, BCA turut mengalami kesulitan karena penarikan besar-besaran uang nasabah alias bank rush. Bank ini pun dianggap tidak akan bisa beroperasi lagi.
Akibatnya, perusahaan masuk ke dalam program rekapitalisasi dan restrukturisasi Badan Penyehatan Perbankan Nasional alias BPPN. Pemerintah memegang 92,8% saham BCA sebagai bentuk Bantuan Likuiditas Bank Indonesia alias BLBI.
Bank ini pun beralih menjadi perusahaan publik pada 2000 dengan kode emiten BBCA. BPPN pun melakukan divestasi senilai 22,5% dari seluruh saham BCA melalui pelepasan saham ke lantai bursa tersebut.
Hingga 2005, kepemilikan pemerintah di bank ini kian berkurang hingga 5,02%. Kini, negara tidak menjadi salah satu pemegang saham BCA.
Mayoritas saham BCA sekarang dikuasai oleh Grup Djarum milik Hartono bersaudara. Kepemilikan sebesar 54,94% saham tersebut berada di bawah PT Dwimuria Investama Andalan.
Grup Salim dan Kejayaannya di Orde Baru
Sejak bertolak dari Fujian pada 1939, Liem sudah menjajal berbagai jenis bisnis di Tanah Air. Ia pernah menjajakan minyak kacang di Kudus, Jawa Tengah, hingga menjadi pemasok bagi militer di provinsi tersebut.
Pada 1950-an, usahanya sudah bervariasi dari hasil hutan, bangunan, perhotelan, perdagangan asuransi, hingga perbankan. Di masa pemerintahan Soeharto, Liem dipercaya oleh Badan Urusan Logistik alias Bulog untuk mengimpor beras sebanyak 35 ribu ton pada 1967.
Liem pun berjaya dari pengolahan gandum di perusahaan Bogasari. Dalam catatan Richard Robison dalam The Rise of Capital, “Lima hari setelah berdiri dengan modal hanya Rp 100 juta, Bogasari memperoleh kredit Rp 2,8 miliar dan izin dari Bulog untuk membangun pabrik tepung terigu di Indonesia bagian barat.”
Sayap Grup Salim pun kian melebar dengan berbagai jenama yang dimulai dengan awalan Indo. beberapa di antaranya adalah perusahaan susu Indomilk, perusahaan mi instan Indofood Sukses Makmur, dan penjualan mobil di Indomobil. Portofolio bisnis grup ini pun melebar ke semen melalui Indocement, ritel Indomaret, dan Bank Central Asia.
Bisnisnya mulai goyah setelah reformasi. Saat kerusuhan 1998 terjadi, kediaman Liem di daerah Gunung Sahari, Jakarta Pusat, turut dijarah dan dirusak. Akhirnya ia mewariskan bisnisnya ini kepada anaknya, Anthony Salim kemudian hijrah ke Singapura hingga akhir hayatnya.
Anthony Salim kini memegang kerajaan bisnis ayahnya. Ia memimpin Indofood, yang memproduksi tepung terigu merek Segitiga Biru dan mi instan Indomie. Selain itu, Grup Salim juga memiliki perusahaan roti Sari Roti, PT PP London Sumatera Plantation Tbk, Indomobil, konstruksi, energi, dan digital.
Majalah Forbes mencatat Anthony Salim sebagai orang terkaya nomor lima di Indonesia pada 2022. Harta kekayaannya per Juli tahun lalu mencapai US$ 7,5 miliar atau sekitar Rp 114 triliun.