Gempa bumi berkekuatan magnitudo 5,6 yang terjadi di Cianjur pada 21 November lalu menyingkap potensi gempa di Jawa Barat. Di wilayah ini, terdapat tiga sesar atau patahan lempeng bumi aktif, yakni Sesar Lembang, Cimandiri, dan Baribis. Ketiga sesar ini menyimpan potensi lindu besar di tanah Pasundan.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menjelaskan, gempa di Cianjur terjadi karena adanya pergerakan patahan. Episenter gempa berada 6,86° LS ; 107,01° BT atau di darat wilayah Sukalarang, Sukabumi, Jawa Barat.
“Diduga ini merupakan akibat pergerakan dari Sesar Cimandiri,” katanya pada wartawan, Senin 21 November 2022.
Sejak gempa terjadi hingga 22 November 2022 pukul 16.00, BMKG telah mencatat adanya 140 kali gempa susulan yang frekuensinya terus menurun. Dalam selang waktu tersebut, magnitudo gempa terbesar adalah M4.2 dan terkecil pada M1,2.
Menurut Daryono, Koordinator Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG, banyaknya korban dan kerugian ini disebabkan oleh tiga hal. Pertama, gempa terjadi pada kedalaman dangkal di 11 kilometer. Gempa ini dipicu aktivitas sesar aktif pada zona sistem Sesar Cimandiri. Kemudian, dia menilai struktur bangunan masih tidak memenuhi standar aman gempa.
“Ketiga, lokasi permukiman berada pada tanah lunak (local site effect–efek tapak) dan perbukitan (efek topografi),” katanya dalam akun Twitter-nya.
Letak Sesar Cimandiri
Menurut buku Mengenal Sesar Gempa di Sekitar Jakarta seri 1 terbitan Tempo, Jawa Barat memiliki tiga sesar aktif, yakni Sesar Lembang, Cimandiri, dan Baribis. Berdasarkan penelitian tim Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran 2017 lalu, sesar Cimandiri merupakan sesar tua yang terbentuk saat proses orogenesa tahap II, yaitu pada waktu Akhir Eosen Tengah.
Sesar ini membentang sepanjang 70 kilometer dan bisa dibagi dua berdasarkan orientasi jalur sesarnya. Pertama, Sesar Cimandiri Segmen Barat bergerak ke arah barat-timur dan membentang dari Pelabuhan ratu hingga Perbukitan Walat.
Kedua, Sesar Cimandiri Segmen Timur yang bergerak ke arah timur laut-barat daya, membentang dari perbatasan Sukabumi-Cianjur hingga Gunung Tangkuban Perahu di Bandung Utara.
Sementara itu, riset yang dilakukan Geoteknologi LIPI–kini bagian dari BRIN–, membagi Sesar Cimandiri atas lima segmen. Pertama, segmen Pelabuhan Ratu–Citarik, kemudian Citarik–Cadas Malang, dan Cicereum–Cirampo. Dilanjutkan dengan segmen Cirampo–Pangleseran, dan Pangleseran-Cibeber. Ada juga beberapa segmen di antara Cibeber–Padalarang.
Sesar ini pun dipotong oleh beberapa sesar besar lainnya, seperti Sesaat Citarik, Sesar Cicareuh, dan Sesar Cicatih. Dalam catatan Eddy Z. Gaffar dari LIPI, ketiga sesar ini melalui daerah yang cukup labil sehingga lindu pada lajur ini akan merusak daerah tersebut.
“Dari hasil plotting beberapa gempa yang terjadi beberapa puluh tahun terakhir ini, ternyata titik pusat gempa berada pada lajur sesar yang memotong Sesar Cimandiri. Sementara dapat diambil kesimpulan bahwa sesar yang memotong sesar Cimandiri kemungkinan adalah sesar aktif,” tulis Eddy dalam penelitiannya.
Peneliti gempa Institut Teknologi Bandung, Irwan Meilano, menambahkan sesar ini bergerak dengan kecepatan empat hingga enam milimeter per tahun. Adapun, bagian selatan dari sisi lebih aktif.
“Dengan kecepatan ini, sesar Cimandiri bisa menghasilkan gempa berkekuatan 5-6 SR. ini setara dengan gempa di Sesar Opak yang merusak hampir 1000 rumah di Sukabumi pada 2000,” kata Irwan, dikutip dari buku Mengenal Sesar Gempa di Sekitar Jakarta.
Riwayat Gempa Sesar Cimandiri
Bila ditilik dari sejarahnya, Sesar Cimandiri memiliki potensi kegempaan yang cukup besar. Bahkan gempa karena sesar tersebut tercatat sudah terjadi sejak awal 1900-an.
Mulai dari gempa Pelabuhan Ratu pada 1900, gempa Padalarang (1910), dan gempa Conggeang (1948). Hampir tiga dekade berselang, terjadi gempa Tanjungsari (1972), Cibadak (1973), gempa Gandasoli (1982), dan gempa Sukabumi (2001).
Daryono menjelaskan bahwa daerah Sukabumi-Cianjur yang dilewati Sesar Cimandiri ini memang berada dalam daerah seismik aktif. Gempa pertama yang tercatat di daerah ini pun sudah terjadi sejak 1844. Berikut peta seismisitas daerah tersebut, periode 2009 hingga 2020: