Kondisi Ekonomi 2025 Dinilai Punya Kemiripan dengan Krisis 1998

Ringkasan
- Bursa saham Wall Street melorot pada perdagangan Jumat setelah data inflasi stabil dan debat presiden memicu ketidakpastian politik.
- Inflasi bulanan AS stabil dan belanja konsumen sedikit meningkat, memberikan harapan untuk kontrol ekonomi oleh The Fed, yang diperkirakan akan menurunkan suku bunga pada September.
- Debat presiden dan kenaikan imbal hasil obligasi menambah tekanan pada saham, sehingga menyebabkan penurunan di sektor diskresioner konsumen dan koreksi di indeks S&P 500, Nasdaq, dan Dow Jones.

Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) menyatakan pelemahan rupiah belakangan ini tidak separah kondisi saat krisis moneter 1998. Sedangkan beberapa analisis dari ekonom menyebutkan terdapat beberapa faktor yang menunjukkan ekonomi Indonesia sedang tidak baik.
Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menilai, pemerintah seperti menutup-nutupi kondisi sebenarnya. “Krisis 1998 versus 2025 seperti kemiripan yang ditutup-tutupi,” kata Hidayat, Kamis (27/3).
Hidayat mengkhawatirkan nilai tukar rupiah sempat berada di level Rp 16.600 per dolar AS yang merupakan angka terendah sejak krisis 1997-1998. Adapun BI bersikukuh situasi 2025 tidak mirip 1998 dengan alasan tidak ada krisis politik dan utang pemerintah terkendali.
Padahal, menurut Hidayat, ada tiga paralel berbahaya yang diabaikan. Pertama, ketergantungan pada modal asing jangka pendek.
“Portofolio asing di pasar saham Indonesia mencapai 42% pada 2025 lebih tinggi daripada 1997 yang mencapai 35%,” ujar Hidayat.
Ia mengatakan, ketika The Fed menaikkan suku bunga Maret 2025, aliran modal keluar dari Indonesia mencapai US$ 2,8 miliar. Angka ini bisa dibilang terbesar di ASEAN.
Kedua, defisit transaksi berjalan yang artifisial. Ia mengatakan, Defisit Indonesia 0,32% dari PDB, terlihat kecil hanya karena impor melemah bukan karena ekspor menguat.
“Ini mirip dengan 1997, di mana defisit neraca berjalan terkontrol karena resesi impor,” kata Hidayat.
Ketiga, adanya over confidence Bank Sentral sebab BI menyatakan fundamental ekonomi kuat. Namun, Hidayat menilai, BI seperti mengulangi narasi serupa sambil menutup mata pada rasio utang korporasi yang membengkak dari 28% pada 2020 menjadi 35% pada 2025.
Kondisi Pelemahan Rupiah Bisa Ganggu Stabilitas Ekonomi
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan, pelemahan rupiah berpotensi akan mengganggu stabilitas ekonomi dalam jangka pendek.
“Stabilitas ekonomi kalau rupiahnya gonjang-ganjing ini juga akan berimplikasi kepada makro ekonomi kita,” kata Eko dalam diskusi daring Indef, Selasa (25/3).
Dia menjelaskan, para pelaku di pasar uang juga akan melihat bagaimana kondisi saat momen Lebaran Idufitri 2025. Sebab pada momen tersebut, diproyeksikan uang beredar dan pemudik bergerak dalam jumlah besar.
Eko juga mengatakan pelemahan rupiah akan memiliki risiko yang cukup banyak. Menurutnya, pelemahan rupiah tak ada hubungannya dengan usaha menggenjot ekspor. Pelemahan rupiah bisa mendorong ekspor jika Indonesia kuat dalam sektor tersebut.
“Kadang pejabat bilang bisa mendorong ekspor. Jangan percaya itu,” ujar Eko.