Sejarah BDS, Gerakan Boikot Produk Pro-Israel, Ditunding Pro-Terorisme

ANTARA FOTO/Didik Suhartono/foc.
Sejumlah mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa di dekat gedung Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Surabaya, Jawa Timur, Selasa (7/11/2023). Aksi itu sebagai bentuk pembelaan dan kepedulian terhadap Palestina yang mengalami penderitaan akibat serangan militer Israel.
Penulis: Sorta Tobing
15/11/2023, 10.55 WIB

Sebanyak 11.240 warga Palestina tewas akibat serangan udara dan darat Israel sejak bulan lalu. Jalur Gaza memanas. Pertempuran dengan Hamas itu juga membuat lebih 29 ribu orang mengalami luka-luka.

Ribuan bangunan, termasuk rumah sakit dan tempat ibadah hancur. Di sisi Israel, tercatat hampir 1.200 warganya tewas karena perang tersebut. 

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyerukan gencatan senjata segera. “Sekjen sangat kecewa dengan situasi yang mengerikan dan banyaknya korban yang meninggal secara dramatis di beberapa rumah sakit di Gaza,” kata juru bicara Stephane Dujarric dalam konferensi pers, Selasa (14/11), dikutip dari Antara

Serangan Israel kini menargetkan area di sekitar rumah sakit utama Gaza, Al-Shifa. Hal ini karena dugaan Hamas memiliki pusat komando di bawah tanah yang terletak di bawah rumah sakit. Kelompok perlawanan asal Palestina tersebut membantah tudingan ini. 

Di tengah kondisi itu, seruan boikot terhadap produk pro-Israel semakin menggema di media sosial. Nama Boycott, Divestment, Sanction (BDS) menjadi populer. Gerakan yang berdiri pada 9 Juli 2005 ini memang berjuang untuk kebebasan, keadilan, dan kesetaraan Palestina.

Media sosial, seperti X (sebelumnya Twitter) dan TikTok, dengan memakai tanda pagar #BDSMovement, berisi orang-orang yang menyebut merek-merek yang memiliki hubungan dengan Israel.

McDonald’s menjadi sasaran boikot setelah sebuah lokasi gerainya di Israel menawarkan makanan gratis untuk militer Israel. Begitu pula dengan Domino’s Pizza dan Burger King. 

Starbucks juga kena boikot karena perusahaan menggugat serikat pekerjanya pada bulan lalu. Kasus ini bermula dari unggahan di akun media sosial serikat pekerjanya yang menyatakan dukungan untuk warga Palestina.  

Aksi injak spanduk bendera Israel (ANTARA FOTO/Reno Esnir/YU)

Sejarah BDS

BDS terinspirasi dari gerakan anti-apartheid di Afrika Selatan. Israel dianggap mempertahankan rezim kolonialisme, apartheid, dan penindasan terhadap rakyat Israel. Hal ini, menurut BDS dalam situsnya, hanya mungkin terjadi karena dukungan internasional.

Pemerintah di banyak negara telah gagal meminta pertanggungjawaban Israel atas kependudukan di tanah Palestina. Di sisi lain, banyak perusahaan dan institusi dunia membantu Israel menindas warga Palestina. 

Karena mereka yang berkuasa menolak mengambil tindakan untuk menghentikan ketidakadilan ini, masyarakat sipil Palestina menyerukan solidaritas warga global melalui BDS. 

BDS memandang Israel telah melakukan diskriminasi, menduduki, dan menjajah warga Palestina. Apalagi, Israel menolak hak pengungsi untuk kembali ke rumah mereka.

Karena itu, prinsip BDS adalah warga Palestina berhak atas hak yang sama, seperti umat manusia lainnya. Gerakan ini terdiri dari serikat pekerja, asosiasi akademis, gereja, dan gerakan akar rumput di seluruh dunia. 

Vox menulis, BDS adalah gerakan protes non-kekerasan global. Mereka ingin memakai boikot ekonomi dan sanksi untuk menekan pemerintah Israel agar mematuhi hukum internasional dan mengakhiri kebijakan kontroversial terhadap Palestina. 

BDS menjadi sebuah taktik, bukan organisasi. Kelompok-kelompok berbeda banyak melakukan kampanye sendiri tapi serupa dengan BDS.

Selain perjuangan anti-apartheid di Afrika Selatan, BDS juga terinspirasi langsung dari gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat. Keduanya efektif mencapai tujuannya dengan memakai boikot.

Salah satu aktivis anti-apartheid yang mendukung gerakan ini adalah Uskup Agung Desmond Tutu. Ia pernah menyebut apartheid yang terjadi di Afrika dan Israel persamaannya sangat mencolok. 

Mural dukungan untuk kemerdekaan Palestina (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/rwa.)

Kritik terhadap BDS

Namun, gerakan ini bukan tanpa kritik. Bahkan tudingan banyak tertuju pada BDS. The Guardian pada 2017 menulis gerakan ini lebih banyak mudarat daripada manfaatnya. Sebab, perekonomian Palestina ikut terdampak negatif.

Lapangan pekerjaan dan peluang ekonomi di negara itu menjadi sulit dengan adanya gerakan tersebut. Argumen serupa sebenarnya juga terjadi pada penentang boikot dan sanksi apartheid di Afrika Selatan. 

Ada pula yang menyebut BDS sebagai kelompok antisemitisme. Gerakan ini disebut sebagai ajang kebencian terhadap orang Yahudi. Padahal, faktanya, banyak kelompok Yahudi yang mengecam pemerintahan Israel, khususnya kebijakan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. 

Antisemitisme juga tersemat pada BDS karena anggapan masih banyak pemerintahan negara lain yang perlu mendapat pengawasan serupa. Seolah-olah, gerakan ini hanya mengharapkan standar tinggi untuk orang Yahudi dibandingkan kelompok lain. Argumen serupa, tulis Vox, juga terjadi pada aksi boikot di Afrika Selatan. 

Israel dan AS telah lama mencoba menghentikan upaya BDS. Kedua negara menganggap gerakan ini merupakan pendukung utama terorisme yang dipimpin oleh Hamas dan Jihad Islam di Palestina. 

Mantan gubernur New York Andrew Cuomo pernah menulis opininya di Washington Post pada 2016. Ia menilai BDS justru menghambat perdamaian di Timur Tengah. “New York mendukung Israel karena kami adalah Israel dan kami adalah Israel,” tulisnya. 

Mural solidaritas untuk Palestina (ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/foc.)

Daftar Produk yang Diboikot BDS

Berbagai kelompok BDS di dunia mencantumkan berbagai perusahaan dan barang yang akan diboikot. Daftarnya bisa berbeda-beda. Namun, saat ini BDS internasional menyoroti Hewlett Packard atau HP.

Perusahaan asal Amerika Serikat bernilai lebih dari US$ 25 miliar ini terkenal dengan lini produk mesin cetaknya atau printer. BDS menganggap teknologi HP telah membantu negara Israel dalam mengawasi dan membatasi pergerakan warga Palestina dengan menerapkan sistem identifikasi biometrik.  

HP telah membantah tudingan tersebut dengan menyebut perusahaan tidak memihak dalam perselisihan politik antar-negara atau wilayah. Perusahaan menerapkan kebijakan ketat untuk menghormati hak asasi manusia. 

Di Indonesia, akun X BDS Indonesia, @GerakanBDS_ID, telah mencantumkan daftar target boikot mereka. Produk boikot utama adalah:

  1. AXA Insurance
  2. Puma
  3. Carrefour
  4. Siemens
  5. HP
  6. Sodastream
  7. Remax
  8. Ahava

BDS Indonesia juga mengeluarkan target produk yang perlu mendapat tekanan masyarakat (non-boikot):

  1. Google
  2. Amazon
  3. Disney
  4. Booking.com
  5. Expedia
  6. AirBnB

Untuk target divestasi:

  1. Elbit System
  2. CAF
  3. CAT
  4. Barclays
  5. JCB
  6. Volvo
  7. Chevron
  8. TKH Security
  9. HIKVision
  10. HD Hyundai

Terakhir, target boikot lainnya:

  1. Domino’s Pizza
  2. McDonald’s
  3. Papa John’s
  4. Burger King
  5. Pizza Hut
  6. Wix