Emiten bank pelat merah, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) mencatat laba bersih senilai Rp 2,58 triliun pada periode Januari-Februari 2020. Angka tersebut meningkat 22,2% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu senilai Rp 2,11 triliun seiring peningkatan pendapatan bunga dan pertumbuhan kredit.
Direktur Tresuri dan Internasional BNI, Putrama Wahju Setyawan mengatakan, capaian tersebut cukup menggembirakan karena lebih tinggi dibandingkan dengan laba bersih industri perbankan yang rata-raya tumbuh 8,25%. Sedangkan, beberapa Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) IV tumbuh sekitr 19,08% di Januari 2020.
Torehan kinerja perseroan hingga Februari ini, menurutnya merupakan bukti bahwa fundamental BNI masih cukup kuat. Terlebih, saat ini kondisi perekonomian sedang menghadapi ketidakpastian, baik secara global dan dari dalam negeri akibat pandemi corona.
(Baca: Bank Mandiri Berencana Terbitkan Obligasi Bertahap Rp 20 Triliun)
"Kami terus mencermati perkembangan yang ada dan tetap akan tumbuh dengan menjaga manajemen risiko di tengah ketidakpastian akibat wabah Covid-19," ujar Putrama dalam siaran pers, Selasa (7/4).
Dia juga menjelaskan, peningkatan laba bersih BNI kemarin ditopang oleh kenaikan pendapatan bunga bersih (net interest income/NII) sebesar 15,85% dari Rp 5,11 triliun pada Februari 2019 menjadi Rp 5,92 triliun pada Februari 2020. Sementara itu, pendapatan komisi dan administrasi (fee based income/FBI) tercatat Rp 1,44 triliun pada Februari 2020.
Selain itu, selama dua bulan pertama tahun ini, BNI juga mencatat kenaikan penyaluran kredit 11,8% menjadi Rp 529,53 triliun, dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp 473,61 triliun. Sementara, penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) juga naik sekitar 9,83% menjadi Rp 573,3 triliun.
Dari sisi aset, BNI juga mencatatkan peningkatan aset 9,72% menjadi Rp 788,72 triliun. Jika dibandingkan dengan periode dua bulan pertama tahun lalu, BNI tercatat hanya memiliki aset senilai Rp 718,82 triliun.
(Baca: Sembilan Bank Beri Keringanan Kredit Terdampak Corona, Ini Prosedurnya)
Head of Investment PT Avrist Asset Management, Tb. Farash Farich mengatakan sebuah peningkatan kinerja BNI bisa menjadi sinyal positif industri perbankan masih bisa tumbuh di awal tahun. Meski demikian, dia mengingatkan tantangan bakal semakin berat ke depan, terutama yang disebabkan oleh adanya perlambatan ekonomi akibat penyebaran virus Covid-19.
"Dari sisi valuasi BNI termasuk yang sudah sangat rendah, price to book value (PBV) 0,65 kali, di bawah standar deviasi historisnya," kata Farash.
PBV merupakan penilaian harga saham dengan nilai buku perusahaan. Biasanya, saham yang memiliki rasio PBV besar, akan valuasi tinggi (overvalue). Sedangkan saham dengan PBV di bawah 1 kali, memiliki valuasi rendah.
Adapun, saham berkode emiten BBNI ini, sejak awal tahun mengalami koreksi signifikan. Sejak awal tahun hingga penutupan perdagangan Selasa (7/4), saham BNI sudah anjlok 45,1% di harga Rp 4.310 per saham. Investor asing pun tercatat melakukan jual bersih (net sell) sejak awal tahun sebesar Rp 2,1 triliun di pasar reguler.
Hal tersebut dinilai bisa menjadi momen investor untuk mengoleksi saham BNI, apalagi dengan PBV saat ini yang menandakan saham bank pelat merah ini tengah undervalue. Menurutnya, kemungkinan untuk valuasi kembali lebih rendah tetap ada, tapi paling tidak valuasi saat ini sudah cukup menarik.
(Baca: Erick Thohir Ungkap Banyak BUMN Terpukul Corona: Utang Naik, Kas Minus)
"Namun, untuk antisipasi kemungkinan harga bisa lebih turun, bisa dilakukan pembelian bertahap," ujarnya.
Dia menilai saham BNI menarik dikoleksi untuk investor jangka panjang. Pasalnya dengan kondisi saat ini, dan adanya pandemi COVID-19 industri perbankan pun tertekan. Saham BNI sendiri pernah mencapai PBV seperti ketika krisis 2008.