Kebijakan Harga US$ 70 per Ton Masih Positif Bagi Emiten Batu Bara

Arief Kamaludin|Katadata
Penulis: Ihya Ulum Aldin
9/3/2018, 19.01 WIB

Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan terkait penetapan harga batu bara untuk kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO), terutama bagi pembangkit listrik. Kalangan analis menganggap kebijakan ini tidak akan berpengaruh terhadap harga saham emiten pertambangan batu bara.

Rabu lalu (7/3), Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2018. Saat berita tersebut diumumkan, saham-saham perusahaan batu bara langsung jatuh hingga kemarin.

Saham PT Bukit Asam (Persero) Tbk. turun 9,7 persen dalam dua hari. Saham PT Adaro Energy Tbk. turun 7,2 persen dan PT Indo Tambangraya Megah Tbk. sebesar 1,1 persen. Bahkan PT Indika Energy Tbk. mengalami penurunan paling besar, hingga 11,6 persen.

(Baca: Pengusaha Keberatan Harga Batu Bara Domestik Diatur Pemerintah)

Hari ini, saham emiten-emiten tersebut kembali naik, setelah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menindaklanjuti PP 8/2018 dengan mengeluarkan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 1395 K/30/MEM/2018. Kepmen ini menetapkan harga jual batu bara DMO untuk pasokan pembangkit listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) sebesar US$ 70 per metrik ton.

Analis Binaartha Sekuritas Muhammad Nafan Aji melihat ada beragam reaksi pada emiten-emiten batu bara setelah pemerintah menetapkan harga DMO emas hitam tersebut. Perusahaan batu bara yang berbasis ekspor tidak akan bermasalah karena tidak terlalu menggerus keuntungannya.

Sedangkan bagi emiten yang berbasis pada pasar domestik, sebelum keluarnya Kepmen, sangat terpengaruh isu DMO batu bara. Namun, setelah keluar Kepmen ESDM, hal ini menjadi sentimen positif bagi pelaku usaha di sektor batu bara.

Dia menilai terkoreksinya emiten-emiten batu bara hanya sementara. "Karena pada waktu itu, masih dalam tahap wacana sehingga belum memberikan kepastian bagi para pelaku pasar," ujarnya kepada Katadata.co.id, Jumat (9/3). (Baca: Siapa Emiten Batu Bara yang Paling Terpukul Kebijakan DMO?)

Dia juga mencotohkan dengan naiknya saham PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) yang pada siang ini menghijau sebanyak 250 poin atau menguat 0,93 persen menjadi Rp 27.150. "Ada yang menguat seperti ITMG, misalnya," katanya.

Analis Royal Investum Sekuritas Wijen Ponthus mengatakan harga yang ditetapkan oleh pemerintah sebesar US$ 70 per metrik ton sebagai harga yang bagus. Ini merupakan hasil negosiasi antara pemerintah dan pengusaha batu bara.

"Tidak ada pengaruh signifikan lagi ke harga sahamnya (sektor batu bara) karena sudah ada kepastian (keluarnya Kepmen)," ujar Wijen kepada Katadata.co.id pada Jumat (9/3).

Dia mencotohkan saham Bukit Asam. Meski sampai siang tadi masih terkoreksi 130 poin atau sebesar 4,64 persen menjadi Rp 2.670, masih lebih baik dari pada sebelum Kepmen ESDM keluar. "Lebih besar mana penurunan sebelum atau setelah DMO keluar?" ujarnya.

(Baca: Pembatasan Harga Batu Bara Domestik Bikin PLN Hemat Rp 20 T)

Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa Efek Indonesia Alpino Kianjaya memprediksi turunnya saham ini hanya sesaat. Dalam dua hari ke belakang, dia melihat masih ada dampak kepada emiten-emiten batu bara, tapi sudah mulai menyusut.

"Tadinya minus cukup dalam, tapi kemarin hanya minus tipis untuk sektor mining (tambang). Saya optimistis tidak ada masalah," ujar Alpino saat ditemui di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (9/3).

Nafan Aji memperkirakan bahwa saham-saham emiten batu bara akan kembali menghijau tergantung kinerja pergerakan dolar Amerika Serikat yang diperkirakan menguat setelah dirilisnya US Nonfarm Payroll dan penetapan kebijakan kenaikan tingkat suku bunga acuan Bank Central Amerika serikat The Fed pada 21 Maret nanti.

"Penguatan dolar AS menyebabkan terdepresiasinya instrumen harga batu bara dunia. Saya lebih memilih wait and see dulu," ujarnya menambahkan.