Industri tekstil termasuk salah satu sektor yang terkena dampak pandemi covid-19. Di saat yang sama, produk tekstil buatan Indonesia mendapat persaingan yang sangat kuat di pasar global, salah satunya dari produk tekstil Vietnam dan Tiongkok.
Untuk menghadapi persaingan tersebut, Direktur Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex Solo, Iwan Setiawan Lukminto memiliki beberapa kiat agar tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri bisa memenangi persaingan di tingkat global.
Menurut Iwan, produk tekstil Indonesia sudah sejak lama memiliki pesaing kuat di tingkat regional Asia Tenggara, dan di Asia, salah satunya dengan Tiongkok.
“Sebetulnya saat ini kita par (setara) dari sisi biaya produksi. Cost disana mahal, di sini juga sama. Jadi masih bisa bersaing. Kuncinya adalah bagaimana menambah produksi di dalam negeri ini lebih bervariasi lagi,” ujarnya dalam sebuah webinar, Senin (14/12).
Iwan menjelaskan, dengan menambah variasi produk tekstil dan juga menambah jumlah produsennya, biaya logistik akan menjadi lebih efisien. Ini lantaran pembeli (importir) produk tekstil dari negara lain bisa membeli beragam jenis produk tekstil di Indonesia sehingga dengan sendirinya menurunkan biaya logistik.
“Pembeli dari luar negeri bisa membeli disini. Semuanya ada. Ini angan-angan saya bagaimana kita bisa mempunyai varian kain tekstil yang banyak di Indonesia. Seperti kebaya, itu banyak impornya, kenapa tidak dibuat di Indonesia?” ujarnya.
Oleh karena itu investasi di dalam negeri harus digenjot untuk sektor-sektor yang berorientasi ekspor, namun dengan tetap memaksimalkan potensi pasar dalam negeri yang masih sangat besar dan belum tergarap sepenuhnya.
“Ini harus menjadi peluang bagi Indonesia untuk mendorong investasi di dalam negeri untuk tujuan ekspor nantinya,” kata Iwan.
Menurut data Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (Ikatsi), kinerja perdagangan luar negeri tekstil dan produk tekstil sempat mencatatkan rekor terburuknya sepanjang sejarah pada 2018.
Hal tersebut dapat dilihat dari pertumbuhan ekspor yang jauh lebih rendah daripada impor. Ekspor hanya tumbuh 0,9%, sedangkan impor melesat 13,9%. Alhasil, pertumbuhan nilai neraca perdagangan tekstil dan produk tekstil turun 25,6% atau terendah sejak 2008.
Dampak UU Omnibus Law Ciptaker Untuk Industri Tekstil
Menurut iwan industri tekstil memiliki prospek yang cerah di tahun-tahun mendatang setelah disahkannya Undang-undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker). Pasalnya aturan dalam beleid ini memang menjadi harapan pelaku usaha sejak lama.
“Memang terobosan ini yang kita inginkan sejak lama, regulasi yang tidak tumpang tindih. Sebenarnya harapan pengusaha sangat mudah, hitungan dan gambarannya harus jelas, dan harus ada keberpihakan ke dalam negeri,” kata dia.
Meski demikian, Iwan memberikan sejumlah catatan terhadap beleid yang baru berumur tiga bulan tersebut. Pertama, aturan ini harus bisa mengikuti perkembangan zaman, atau adjustable. Kemudian aturan tersebut harus dicocokkan dengan aturan perdagangan dunia yang dikeluarkan World Trade Organization (WTO).
“Aturan-aturan bilateral dan multilateral harus dicocokkan apa yang kita inginkan dengan apa yang dunia inginkan. Ini yang harus kita jaga,” ujarnya.
Kemudian dia berharap UU Omnibus Law Ciptaker dapat diimplementasikan dengan adil untuk semua sektor. Jangan sampai implementasinya malah menjadi batu sandungan di masa mendatang. Dia juga berharap dengan adanya aturan ini pemerintah bisa memberikan perhatian lebih terhadap industri padat karya.
“Ada social risk. Kami ini adalah industri padat karya, jadi beri satu payung (aturan turunan) yang intinya bagaimana biaya bisa dipermurah, jalan keluar untuk permodalan yang lebih murah. Karena industri padat karya menghadapi risiko besar bila ada PHK akibat pandemi. Ini yang harus dipikirkan,” kata dia.