Perusahaan rintisan (startup) e-commerce yang sudah berstatus unicorn akan melepas sahamnya di Bursa Efek Indonesia pada tahun ini. Penjualan saham melalui penawaran saham perdana ke publik atau initial public offering (IPO) ini bakal berjalan mulus setelah otoritas bursa mengakomodasi tiga keinginan para pendiri dan manajemen perusahaan beraset di atas US$ 1 miliar tersebut.
"Kami harapkan lebih banyak lagi IPO perusahaan tahun ini dibandingkan tahun 2020. Kemungkinan juga akan ada IPO besar tahun ini dari unicorn Indonesia," kata Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI Laksono Widodo dalam pertemuan dengan pemimpin redaksi media massa, Kamis (11/2).
Tahun lalu, sebanyak 51 perusahaan menggelar IPO dengan total perolehan dana Rp 5,97 triliun. Pencapaian di tengah situasi pandemi Covid-19 tersebut masih di bawah 2019, dengan jumlah emiten baru mencapai 55 perusahaan yang mengumpulkan dana Rp 14,77 triliun.
Direksi BEI yakin unicorn Indonesia akan merealisasikan IPO tahun ini karena sudah intensif bertemu dengan para pemilik unicorn sejak tahun lalu. Pertemuan tersebut untuk membantu perusahaan masuk ke pasar modal.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna mengatakan, dari hasil pertemuan intensif tersebut, ada tiga hal besar yang menjadi perhatian unicorn untuk IPO. Pertama, perusahaan ingin masuk ke papan utama yang diisi oleh perusahaan besar dan memiliki pengalaman operasional yang cukup lama.
Di bursa, selain papan utama, terdapat pula papan pengembangan yang berisi emiten menengah yang diharapkan dapat berkembang. Lalu, ada papan akselerasi yang disediakan untuk emiten berskala kecil dan menengah.
Salah satu syarat untuk masuk papan utama membukukan laba usaha pada 1 tahun buku terakhir. Persyaratan lainnya adalah memiliki aset berwujud bersih (net tangible assets) minimal Rp 100 miliar.
Dalam hal aset berwujud, Nyoman mengatakan, unicorn yang besar lebih banyak memiliki aset tidak berwujud (intangible assets). Untuk itu, dalam pembahasan mengenai masuk ke papan utama, bursa memberikan ruang agar unicorn besar tersebut tetap bisa masuk ke papan utama.
Caranya, memasukkan juga unsur lain dalam kinerja unicorn itu, seperti pendapatan dan kapitalisasi pasar. Saat ini, BEI tengah menggodok peraturan agar unicorn yang memiliki aset tidak berwujud tetap bisa masuk ke papan utama.
"Jadi, kami tetap menjaga kualitas di papan utama, tapi kami tetap perhatikan karakteristik dari perusahaan-perusahaan itu (unicorn)," kata Nyoman.
Kedua, unicorn juga meminta bursa untuk memperhatikan pembagian sektor dan subsektor agar unicorn bisa bersaing dengan kekhasan yang sama. Untuk itu, BEI sudah meluncurkan indeks IDX Industrial Classification pada 25 Januari lalu menggantikan Jakarta Stock Industrial Classification (JASICA).
Dengan adanya indeks tersebut, salah satu sektor baru yang ada di bursa adalah sektor teknologi. Nyoman menyampaikan sudah ada tiga emiten sektor teknologi dari total 27 perusahaan yang masuk dalam pipeline IPO Bbrsa per 4 Februari 2021.
Namun, BEI tidak bisa menyebutkan nama-nama emiten yang siap melantai di bursa tersebut. "Nanti, unicorn akan masuk dalam kelompok perusahaan-perusahaan teknologi di IDX IC, jadi sesuai peers," kata Nyoman.
Permintaan ketiga, para pendiri unicorn menginginkan adanya hak khusus berupa dua kelas saham untuk kepentingan pengambilan keputusan. Pendiri unicorn ingin diberikan kelas saham yang berbeda dari pemegang saham lain, seperti satu saham memiliki hak lebih dari saham biasa dalam hal pengambilan keputusan.
Hal ini mirip yang terjadi pada salah satu emiten yaitu PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS), yakni saham mayoritasnya dimiliki oleh PT Pertamina (Persero) sebesar 56,96% dan publik yang sebesar 43,03%. Namun, Negara Republik Indonesia memiliki satu saham Seri A dwiwarna yang masih bisa mengontrol PGN.