DBS Group menargetkan laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di tahun 2023 akan mencapai level psikologis 7.700 pada skenario dasar. Proyeksi tersebut dengan asumsi pertumbuhan valuasi Price to Earnings Ratio (PER) yang rerata tumbuh 16 kali, kenaikan suku bunga yang melambat, serta membaiknya nilai tukar rupiah.
Pada skenario paling opimis, Bank DBS memprediksi IHSG akan melaju di rentang 8.200 hingga 8.300. Namun untuk mencapai target ini, suku bunga acuan global perlu turun. Selain itu harga komoditas yang tinggi juga harus bertahan.
Head of Reaserch DBS Group, Maynard Arif menyatakan, perusahaan mengusung tiga tema investasi di tahun 2023 yaitu domestik dan defensif, investasi hijau, serta rotation to laggards.
"Kita mengusung tema ini karena memngingat ada potensi untuk resesi di perekonomian global jadi kami cenderung fokus ke industri domestik atau ke domestik ekonomi, dan juga sektor yang defensif," kata Maynard, dalam acara Group Interview bersama Ekonom Bank DBS - Menilik Kondisi Pasar dan Ekonomi Tahun 2023, Selasa (6/12) di Jakarta.
Adapun, saham-saham yang ada di kelompok domestik dan defensif yaitu saham perbankan, saham konsumer, dan kesehatan. Lalu untuk investasi hijau atau green investments, yaitu transisi energi, renewables, dan Electric Vehicle (EV) dan ekosistem.
Terakhir, rotation to laggards yaitu sektor-sektor yang performanya masih tertinggal namun prospeknya sudah mulai membaik. Contohnya, sektor poultry atau unggas, sektor telekomunikasi, dan sektor properti. Dari sisi sektor, Maynard mengatakan sektor perbankan, sektor konsumer, sektor telekomunikasi dan sektor kesehatan diproyeksikan akan positif di tahun 2023.
Ia juga menilai, pertumbuhan Indonesia di tahun 2023 diproyeksikan tetap positif. "Beberapa hal yang perlu kita perhatikan saat kita melihat outlook 2023, membagi dari sisi positif dan negatif," katanya.
Jika dilihat dari sisi positif, menurutnya tekanan eksternal akan jauh lebih baik dibanding 2022. Menurutnya, The Fed tidak akan agresif untuk menaikkan suku bunga di tahun 2023 dibandingkan dengan tahun 2022. Dari sisi lain, mata uang dolar Amerika Serikat (AS) diprediksi tidak akan terjadi penguatan dan ini akan menjadi dampak positif terhadap pasar.
"Kita melihat inflasi tinggi, The Fed agresif tapi tahun 2023 dimungkinkan inflasi akan melambat sehingga kebijakan suku bunganya tidak akan seagresif 2022," katanya.
Lalu, dari sisi domestik, tidak ada lagi pengetatan kebijakan Covid-19 sehingga ekonomi di dalam negeri dapat berputar dengan baik. Menurut Maynard, satu faktor lain yang bisa menjadi faktor positif yaitu pemilihan presiden yang akan dilaksanakan pada tahun 2024. Bahkan diperkirakan akan berdampak positif terhadap pasar di akhir tahun 2023.
"Walaupun harus diingat investor akan mengevaluasi para kandidat yang akan menjadi presiden, dan ini bisa menjadi faktor negatif," ujarnya.
Sementara jika dilihat dari sisi faktor negatif, pertumbuhan ekonomi global diperkirakan akan melambat tahun depan, Amerika Serikat berisiko mengalami resesi. Namun, Indonesia diprediksi cenderung tetap tumbuh kendati mengalami perlambatan.
Maynard menegaskan, salah satu faktor terbesar yang harus diperhatikan yaitu dampak dari investasi terhadap harga-harga komoditas. Dia menjelaskan, Indonesia cukup diuntungkan oleh harga komoditas yang naik signifikan di tahun 2022. Namun, jika resesi global terjadi tahun depan, maka akan memberikan dampak negatif terhadap harga komoditas.
"Dari sisi investor asing, perlu diperhatikan karen jika ada faktor-faktor risiko global atau perubahan harga komoditas bahkan juga Cina reopening lebih besar lagi, mungkin ada rotasi dari Indonesia ke negara lain. Apakah investor asing akan terus masuk ke Indonesia atau meninggalkan," tuturnya.
Dia juga menyebut jika The Fed mengurangi kebijakan kenaikan suku bunga, bisa menyebabkan rotasi dari saham ke surat utang. Selain itu, dari sisi implementasi Environmental, Social, and Governance atau ESG yang bisa menjadi hal negatif untuk Indonesia. Sebab di sebagian besar aktivitas ekonomi Indonesia masih sangat bergantung dengan komoditas.
"Ini juga mungkin bisa menjadi sedikit negatif ketika investor bisa mencari saham-saham atau industri mana yang ESG branding, karena menurut kami Indonesia masih kekurangan saham yang ESG branding saat ini," tandasnya.