Terbanyak di Asia Tenggara, EY Nilai Indonesia Paling Aktif Gelar IPO

ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/tom.
Pekerja melintas di depan layar pergerakan saham di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (3/4/2023). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) BEI pada perdagangan Senin (3/4) ditutup menguat 21,89 poin atau 0,32 persen ke posisi 6.827,1 mengikuti penguatan bursa saham kawasan Asia dan global.
Penulis: Zahwa Madjid
Editor: Lona Olavia
26/4/2023, 12.45 WIB

Kantor akuntan publik (KAP) Ernst & Young (EY) menilai Indonesia menjadi negara yang paling aktif untuk menggelar penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) saham selama kuartal pertama 2023. Bahkan Indonesia menempati urutan pertama di Asia Tenggara.

Terdapat  30 IPO yang menghasilkan pendapatan senilai US$ 828 juta, diikuti oleh Thailand yang menggelar 10 IPO senilai US$ 322 juta, Malaysia 10 IPO senilai US$ 238 juta dan Singapura 1 IPO senilai  US$ 15 juta.

Di seluruh Asia Tenggara, aktivitas IPO terlihat meyakinkan dengan 51 deals yang menghasilkan transaksi senilai US$ 1,4 miliar.

Terlepas dari ketidakpastian yang sedang berlangsung di sekitar lingkungan ekonomi dan geopolitik, EY menilai jalur IPO terus dibangun dengan harapan terjadi perubahan haluan di akhir tahun ini.

EY Indonesia Strategy and Transactions Partner Sahala Situmorang mengatakan, selama empat tahun terakhir, Indonesia telah melihat total nilai emisi ekuitas meningkat dari Rp 15 triliun pada tahun 2019 menjadi Rp 33 triliun pada 2022. 

Faktanya pada tahun 2022, pasar modal nasional mencatat jumlah deals terbesar dalam sejarah dengan 59 IPO. Di mana penawaran publik perusahaan teknologi PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk menjadi yang paling terkenal dengan nilai Rp 14 triliun dalam penawaran ekuitasnya. 

“Tahun ini, hingga kuartal pertama 2023, pasar IPO Indonesia telah menyaksikan 30 IPO dengan nilai penerbitan berkisar dari US$ 1,91 juta dari  PT Mitra Tirta Buwana Tbk dan US$ 596 juta dari PT Pertamina Geothermal Energy Tbk,” ujar Pahala dalam risetnya, Rabu (26/4).

Opini ekonomi makro berkaitan erat dengan faktor-faktor risiko yang relevan dengan pasar modal, meliputi kenaikan tingkat inflasi yang dapat mendorong bank sentral untuk lebih memperketat langkah-langkah moneter. 

Dengan demikian, terdapat peningkatan tingkat diskonto dalam jangka pendek hingga menengah, serta menghasilkan estimasi valuasi yang lebih rendah dan sentimen negatif pasar atas antisipasi resesi global di tengah gejolak perbankan global baru-baru ini. Hal tersebut kurang optimal bagi perusahaan yang ingin mengumpulkan dana ekuitas di pasar publik. 

Akan tetapi, perusahaan dengan dasar yang kuat dan inisiatif pertumbuhan terencana dengan prospek yang dapat dibenarkan masih dapat membuat target investasi yang menarik dan menjamin valuasi yang lebih tinggi. 

Selain itu, krisis perbankan yang menimpa nama-nama perbankan besar di Amerika dan Eropa telah menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya krisis keuangan lanjutan di antara para pelaku pasar. 

Akan tetapi, tampaknya ketakutan tersebut meningkat di atas proyeksi perlambatan ekonomi yang sebagian besar berkaitan dengan faktor-faktor istimewa di antara kasus-kasus tertentu di Amerika dan Eropa. Kondisi tersebut menjadi kondisi yang meringankan pasar Asia Pasifik, sebab prospek ekonomi makro relatif optimis

Melihat lebih dekat kondisi Indonesia, produk domestik bruto (PDB) diproyeksikan tumbuh sebesar 3,6-5,0% dan inflasi stabil dengan panduan Bank Indonesia sebesar 3-4%. 

Terlepas dari latar belakang ekonomi dan geopolitik yang tidak kondusif, terdapat secercah harapan, sejalan dengan puncak inflasi, pelemahan harga energi, dan pemulihan ekonomi Cina. Pekerjaan rumah untuk IPO terus bertambah karena perusahaan masih menunggu stabil dan pulihnya pasar saham sebelum memutuskan untuk melantai.

Reporter: Zahwa Madjid