DBS Group Research memproyeksikan kondisi pada kuartal pertama 2024 akan lebih mendukung untuk investasi pada aset-aset berisiko, seperti saham dan obligasi korporasi. Prediksi tersebut mengacu pada perkiraan bahwa tingkat suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) akan mencapai puncaknya. Hal itu seiring dengan perlambatan laju inflasi dan penundaan pengetatan kebijakan moneter Bank Sentral AS.
DBS Chief Investment Officer (CIO) Hou Wey Fook dan Equities Specialist DBS Group Research Maynard Arif memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia maupun global pada kuartal pertama 2024 bakal positif. Proyeksi ini berdasarkan peluang pertumbuhan di industri teknologi, kebutuhan sekunder, dan barang mewah.
Oleh karena itu, dalam DBS Treasures Private Client di Jakarta, Rabu (24/1), Hou Wey Fook menyarankan agar investor untuk fokus pada pertumbuhan positif di sektor teknologi dan kebutuhan sekunder dalam investasi saham. Sementara itu, untuk efek bersifat utang dan obligasi, posisi terbaik diidentifikasi berada pada obligasi berperingkat A atau BBB dengan jangka waktu tiga hingga lima tahun.
Meskipun demikian, Hou Wey Fook meminta investor untuk tetap berhati - hati terhadap risiko kredit yang dapat terakumulasi, bahkan setelah kenaikan suku bunga.
Sebelumnya, bank sentral AS atau The Fed memulai pengetatan kebijakan dengan total kenaikan suku bunga sebesar 525 basis poin dalam waktu 16 bulan. Dengan demikian hal ini merupakan siklus kenaikan suku bunga tercepat dan paling agresif dalam sejarah.
Hou Wey Fook mengatakan kondisi tersebut menimbulkan tantangan bagi pasar ekuitas dan obligasi selama setahun terakhir.
Para pakar juga menguraikan pertumbuhan industri barang mewah yang mencatatkan tingkat pertumbuhan tahunan majemuk sebesar 6% antara tahun 1996 hingga 2019. Pertumbuhan ini didorong oleh globalisasi dan kekuatan belanja generasi Z. “DBS CIO memandang industri ini memiliki daya tarik yang kuat dan potensi investasi yang cukup besar,” ujar Hou Wey Fook.