Bursa Efek Indonesia (BEI) memutuskan untuk melakukan penghentian sementara atau melakukan suspensi perdagangan pada PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex di seluruh pasar terhitung sejak sesi II perdagangan efek pada Senin, 28 Oktober 2024 hingga pengumuman bursa lebih lanjut.
Kepala Divisi Pengaturan dan Operasional Perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI) Pande Made Kusuma Ari menjelaskan, keputusan tersebut dilakukan sehubungan dengan putusan pailit dan adanya ketidakpastian atas kelangsungan usaha dan informasi material yang belum dipublikasikan secara merata.
"Bursa meminta kepada pihak yang berkepentingan untuk selalu memperhatikan keterbukaan informasi yang disampaikan oleh Perseroan," jelas dia dalam keterbukaan informasi, Bursa Efek Indonesia (BEI) Selasa (29/10).
Keputusan tersebut tertuang dalam surat perseroan nomor 012/CoS/X/2024/SRIL tanggal 25 Oktober 2024 perihal permintaan penjelasan oleh Bursa Efek Indonesia terkait pemberitaan di media massa, terdapat informasi bahwa berdasarkan putusan dari Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang tanggal 21 Oktober 2024, menyatakan perseroan selaku pihak termohon pembatalan homologasi berada dalam keadaan pailit.
Sebagai informasi, Penghentian sementara atau suspensi perdagangan saham PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) sebenarnya sudah berlangsung sejak 18 Mei 2021.
BEI menerapkan langkah ini karena Sritex menunda kewajiban pembayaran bunga surat utang. penundaan tersebut merujuk pada surat elektronik dari PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) bernomor KSEI-3657/DIR/0521 tanggal 17 Mei 2021, yang menyampaikan penundaan pembayaran pokok dan bunga atas Medium Term Notes (MTN) SRITEX Tahap III Tahun 2018 untuk pembayaran ke-6 (USD-SRIL01X3MF).
Sejak saat itu, saham SRIL terkapar di level Rp146. Dengan demikian, suspensi saham SRIL sudah berlangsung selama 41 bulan.
Teracam Didepak dari Bursa
Direktur Penilaian Perusahaan Bursa Efek Indonesia (BEI), I Gede Nyoman Yetna, memberikan respons terkait status pailit PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) beserta tiga anak usahanya. Perusahaan yang pernah menjadi kebanggaan Presiden Republik Indonesia ke-7 Joko Widodo itu terancam didepak (delisting) dari pencatatan saham di BEI.
Sebelum dinyatakan bangkrut, BEI telah menghentikan sementara perdagangan saham SRIL di seluruh pasar sejak 18 Mei 2021. Penghentian ini disebabkan oleh penundaan pembayaran pokok dan bunga Medium Term Notes (MTN) Sritex Tahap III Tahun 2018, yang hingga kini masih berlanjut.
“Dengan demikian SRIL telah memenuhi kriteria untuk dilakukan delisting karena supensi atas efek SRIL telah mencapai 42 bulan,” kata Nyoman ketika dihubungi wartawan, Kamis (24/10).
Terkait putusan pailit Sri Rejeki Isman, Bursa Efek Indonesia (BEI) telah mengirimkan permintaan penjelasan serta pengingat kepada SRIL untuk memberikan keterbukaan informasi kepada publik. BEI juga meminta penjelasan terkait tindak lanjut dan rencana perseroan dalam menyikapi putusan pailit, termasuk langkah-langkah yang diambil untuk mempertahankan kelangsungan usaha (going concern).
Selain itu, Nyoman menegaskan BEI juga melakukan upaya perlindungan terhadap investor ritel. Salah satu langkah yang diambil adalah penerapan notasi khusus serta penempatan saham SRIL pada papan pemantauan khusus, jika perusahaan memenuhi kriteria tertentu sesuai dengan Peraturan Bursa I-X tentang Penempatan Pencatatan Efek bersifat Ekuitas pada Papan Pemantauan Khusus.
“Hal ini diharapkan bisa menjadi awareness awal bagi investor atas potensi adanya permasalahan pada perusahaan tercatat,” ucap Nyoman.
Sritex Punya Utang ke 28 Bank
PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex memiliki deretan utang kepada sejumlah bank. Liabilitas SRIL per 31 Maret 2024 yaitu US$ 1,6 miliar, setara Rp 25,17 triliun yang di dalamnya terdapat sejumlah utang bank. Menelisik laporan kinerja terakhirnya yaitu pada kuartal pertama 2024, SRIL memiliki deretan utang jangka panjang dengan total US$ 848,25 juta, setara Rp 13,27 triliun.
Dalam pos ini, SRIL mencatatkan utang paling banyak yaitu kepada PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) senilai US$ 71,98 juta, setara Rp 1,12 triliun. Utang terbesar kedua yaitu kepada State Bank of India, Singapore Branch senilai US$ 43,88 juta atau Rp 686,65 juta.
SRIL juga memiliki utang kepada bank pembangunan daerah seperti PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk US$ 34.46 juta, PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah senilai US$ 25,07 juta dan Bank DKI senilai US$ 9,45 juta.
Tak hanya utang bank jangka panjang, SRIL memiliki utang bank jangka pendek yaitu BCA senilai US$ 7,77 juta. Sebelumnya utang BCA jangka pendek per 31 Desember 2023 sebesar US$ 11 juta. Sementara itu, SRIL memiliki nilai aset US$ 639,24 juta atau Rp 10 triliun lebih kecil dibandingkan dengan utang bank dan nilai liabilitas yang jumlahnya lebih besar.
Penjualannya pun lesu yaitu hanya sebesar US$ 78,37 juta atau Rp 1,22 triliun per Maret 2024 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya US$ 86,91 juta. Namun, pendapatannya harus dihadapkan dengan sejumlah beban sehingga SRIL mengalami kerugian yang saat itu tercatat US$ 14,79 juta atau Rp 231,46 miliar.