Bursa Efek Indonesia (BEI) dan sejumlah analis merespons kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang makin lesu menjelang pergantian tahun. Berdasarkan data dari London Stock Exchange Group (LSEG), IHSG tercatat sebagai bursa saham dengan kinerja kedua terburuk di Asia hingga 23 Desember 2024, dengan penurunan sebesar 2,42% secara year to date (ytd).
Sementara itu, Indeks Kospi dari Korea Selatan menjadi indeks yang berkinerja paling buruk di Asia, dengan penurunan hingga 8,03% ytd pada periode yang sama.
Padahal, saham-saham di Asia-Pasifik memiliki kinerja yang baik pada tahun 2024. Bursa Taiwan memimpin kenaikan di kawasan ini. Indeks Taiex telah melaju 28,85% berkat ledakan kecerdasan buatan (AI) yang mengangkat saham-saham teknologi. Indeks Hang Seng di Bursa Hong Kong berada di posisi kedua dengan kenaikan 16,63%. Indeks Strait Times Singapura berada di posisi ketiga dengan kenaikan 15,78%.
Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal FEB Universitas Indonesia (UI), Budi Frensidy, mengatakan ada sejumlah faktor eksternal dan internal yang memengaruhi pergerakan IHSG. Faktor eksternal meliputi tingginya suku bunga The Fed dan penurunannya yang tidak seperti ekspektasi pelaku pasar. Faktor lainnya adalah penguatan indeks dolar AS ke level tertinggi, serta potensi perang tarif (perang dagang) di bawah pemerintahan Presiden terpilih AS Donald Trump.
Dari sisi domestik, faktor-faktor yang berpengaruh mencakup kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% dan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang besar tahun ini. Selain itu, ada faktor nilai tukar rupiah yang melemah hingga menembus Rp 16.000 per dolar AS dan pertumbuhan ekonomi yang melambat karena konsumsi yang lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya.
Budi juga menyebut belum ada tanda-tanda IHSG akan menuju zona hijau pada 2025. “Belum ada tanda-tanda akan bullish,” kata Budi kepada Katadata.co.id, Selasa (24/12).
Ekonom Keuangan dan Praktisi Pasar Modal, Hans Kwee, mengatakan ada banyak faktor global yang turut mempengaruhi IHSG. Salah satunya adalah pengaruh kebijakan Presiden Terpilih AS Donald Trump. Hans menilai sejak Trump terpilih kembali sebagai Presiden AS, kebijakan-kebijakan yang diusungnya berpotensi mendorong inflasi lebih tinggi. Selain itu, kenaikan suku bunga obligasi dan dampak kebijakan ekonominya juga dapat memberikan tekanan tambahan terhadap pasar keuangan global.
“Kemudian, faktor The Fed yang hanya akan memotong suku bunga dua kali pada tahun depan. Jadi, ini sentimen yang negatif dan cepat,” kata Hans kepada Katadata.co.id.
Hans juga menambahkan Jepang turut memberikan dampak pada dinamika pasar global. Kebijakan moneter Bank of Japan (BoJ) yang lebih dovish atau cenderung longgar telah memengaruhi sentimen pasar, terutama terkait suku bunga dan likuiditas global.
Daya Beli Masyarakat Menurun
Di samping itu, Hans juga menyoroti sejumlah faktor domestik yang berdampak pada perekonomian dan pasar modal Indonesia. Ia menyebut kebijakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di beberapa industri menjadi salah satu indikator awal tekanan ekonomi. Selain itu, penjualan di berbagai sektor, termasuk sektor retail, juga kian melemah secara signifikan.
Hans mencontohkan penutupan 400 toko Alfamart yang menjadi tantangan yang dihadapi sektor retail. Penjualan mobil juga turun, sementara pedagang pasar tradisional melaporkan penurunan aktivitas hingga 40% dibandingkan lima tahun terakhir.
Menurut Hans, tekanan besar terhadap kelas menengah terlihat pada berkurangnya kelompok ini hingga 40% dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Kondisi tersebut menunjukkan adanya tantangan besar yang perlu diatasi pemerintah.
Dengan daya beli masyarakat yang terus menurun, berbagai sektor ekonomi menghadapi dampak signifikan, yang akhirnya memengaruhi pasar modal dan perekonomian secara keseluruhan.
Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, mengatakan dari sisi domestik, pelaku pasar saat ini tengah mencermati proses transisi pemerintahan baru di Indonesia pasca pemilihan umum (Pemilu) 2024. Para pelaku pasar sedang menunggu kepastian mengenai arah kebijakan moneter dan fiskal yang akan diterapkan oleh pemerintahan mendatang karena hal ini akan memengaruhi dinamika pasar di masa depan.
“Sehingga, wajar saja para pelaku pasar masih wait and see,” kata Nafan kepada Katadata.co.id.
Nafan juga menyebut kinerja IHSG yang kurang baik dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia merupakan hal yang wajar. Menurutnya hal itu juga adanya faktor ketidakpastian politik, seperti dinamika pemakzulan Presiden Korea Selatan yang memengaruhi sentimen pasar dan membuat Indeks Kospi menjadi indeks dengan penurunan terdalam di Asia.
Apa Kata BEI?
Menanggapi lesunya transaksi di BEI menjelang akhir tahun, Direktur Pengembangan BEI Jeffrey Hendrik mengatakan dinamika IHSG mencerminkan keseimbangan antara permintaan dan penawaran di pasar.
“Fungsi kami adalah menyelenggarakan perdagangan yang teratur, wajar, dan efisien,” kata Jeffrey kepada Katadata.co.id, Selasa (24/12).
Jeffrey juga menjelaskan bahwa rata-rata nilai transaksi harian di Bursa Efek Indonesia (BEI) saat ini mencapai Rp 12,8 triliun, meningkat dari Rp 11,75 triliun pada tahun lalu. Adapun untuk meningkatkan likuiditas, BEI akan terus memperdalam pasar, baik dari sisi permintaan maupun penawaran.
Dari sisi permintaan, BEI mencatat penambahan 2,6 juta investor baru pada tahun ini sehingga total investor pasar modal kini mencapai 14,7 juta. Dari sisi penawaran, BEI terus menambah perusahaan tercatat serta menghadirkan berbagai instrumen investasi seperti exchange traded fund (ETF), waran terstruktur, dan Single Stock Futures (SSF).
Selain itu, BEI juga akan segera memberikan izin kepada Anggota Bursa untuk melakukan short selling serta memperkenalkan indeks asing sebagai dasar produk derivatif.
“Semoga dapat memberikan alternatif bagi investor untuk mengoptimalkan keuntungan,” kata Jeffrey.
Apabila menilik kinerja IHSG minggu lalu, P.H Sekretaris Perusahaan Bursa Efek Indonesia (BEI), Aulia Noviana Utami Putri, mengatakan IHSG turun 4,65% ke level 6.983 pada periode 16-20 Desember 2024, dibandingkan dengan 7.324 pada pekan sebelumnya.
Selain itu, rata-rata nilai transaksi harian BEI mengalami penurunan signifikan sebesar 39,36%, menjadi Rp 12,25 triliun dari sebelumnya Rp 20,19 triliun. Volume transaksi rata-rata harian juga turun 17,71%, mencapai 19,19 miliar lembar saham dari 23,32 miliar lembar saham pada pekan lalu. Kapitalisasi pasar bursa tercatat terkoreksi 3,28%, turun menjadi Rp 12.191 triliun dari Rp 12.604 triliun pada pekan sebelumnya.
“Rata-rata frekuensi transaksi harian bursa juga turun 12,71% menjadi 1,08 juta kali transaksi dari 1,24 juta kali transaksi pada pekan lalu,” tulis Aulia dalam keterangan resmi, Jumat (20/12).