Berhembusnya wacana pengambilalihan paksa 51% saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) oleh negara yang disampaikan beberapa tokoh menjadi sorotan. Wacana ini mendapat perhatian di kalangan investor pasar modal lantaran berkaitan dengan BBCA yang merupakan salah emiten perbankan raksasa.
Wacana itu kembali digaungkan oleh Ketua Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN), Sasmito Hadinegoro. Ide itu berkaitan dengan masa lalu BCA dan kaitannya dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia pada saat krisis 1998 yang bergulir hingga adanya pelepasan 51% saham pemerintah di BCA di bawah pemerintahan Megawati Soekarnoputri.
Wacana yang digaungkan Sasmito disambut oleh Ketua Bidang Komunikasi dan Informasi Teknologi DPP PKB Ahmad Iman Syukri. Ahmad menyebut partai di bawah pimpinan Muhaimin Iskandar itu mendukung usulan agar BBCA segera diambil alih.
Seperti apa sebenarnya duduk perkara kepemilikan saham BCA oleh negara dan bagaimana hingga beralih ke keluarga Djarum?
Pergantian Pengendali
Pengendali saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) tercatat sudah berganti sebanyak tiga kali. Awalnya, bank swasta terbesar di Indonesia ini berada sepenuhnya di bawah kendali keluarga Salim melalui Grup Salim. Namun, kepemilikan itu kemudian beralih ke tangan negara, sebelum akhirnya digenggam Grup Djarum milik dua konglomerat Tanah Air Hartono bersaudara, Michael Bambang Hartono dan Robert Budi Hartono.
Raksasa bank Indonesia ini didirikan oleh Liem Sioe Liong atau Soedono Salim pada 1957. Saat itu, entitas ini bukanlah sebuah bank, melainkan pabrik rajut bernama NV Perseroan Dagang dan Industrie Semarang Knitting Factory. Baru pada 2 September 1975, perusahaan resmi mengubah nama menjadi PT Bank Central Asia dan mengalihkan arah bisnisnya menjadi bank devisa.
Merujuk sejarah BCA dalam situs resmi perseroan, ketika Indonesia mengalami krisis moneter pada 1997 hingga 1998, bank-bank nasional mulai mengalami penarikan dana besar-besaran atau rush dan masalah likuiditas. BCA pun tak luput dari polemik tersebut.
Sengkarut itulah yang menjadi cikal bakal peralihan kepemilikan saham dari Grup Salim ke tangan negara. Tahun 1998, BCA menjadi Bank Take Over (BTO) dan disertakan dalam program rekapitalisasi dan restrukturisasi yang dilaksanakan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Pengendali BCA Berpindah dari Grup Salim ke Negara
Merujuk tulisan dari mendiang Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Kwik Kian Gie bertajuk Interpelasi BLBI Kasus BCA, untuk menyelamatkan sistem keuangan nasional saat bank mengalami rush, pemerintah menyalurkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Bantuan itu juga mengalir ke BCA yang saat itu masih dimiliki keluarga Salim.
BCA menerima sebesar Rp 31,99 triliun untuk meredam rush. Jumlah tersebut diberikan berkala, mulai dari Rp 8 triliun, Rp 13,28 triliun dan terakhir BBCA menerima Rp 10,71 triliun.
Bank Central Asia kemudian membayarkan cicilan utang pokok sebesar Rp 8 triliun dan pembayaran bunga sebesar Rp 8,3 triliun. Saat itu, tingkat bunga sebesar 70% per tahun. Dalam hal ini, pemerintah hanya menganggap pembayaran cicilan utang BLBI adalah pembayaran utang pokok, tidak termasuk pembayaran bunga. Sehingga sisa utang BCA sebesar Rp 23,99 triliun atau setara dengan 92,8% dari nilai saham BBCA saat itu.
Pemerintah kemudian menyita saham BCA sebesar 92,8% tersebut dari keluarga Salim untuk melunasi utang. Utang BCA pada BLBI pun dianggap lunas, BCA sudah menjadi milik pemerintah dan menempatkannya di bawah kendali Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Dalam proses rekapitalisasi tersebut, kredit pihak terkait dipertukarkan dengan obligasi pemerintah.
“Jadi ketika itu juga keluarga Salim sudah tidak mempunyai utang BLBI,” tulis Kwik dalam artikelnya dikutip Kamis (20/8).
Tukar Guling Utang Salim
Di lain sisi, Kwik menyebut Grup Salim pernah mengambil kredit sebesar Rp 52,7 triliun di BCA. Maka ketika BCA telah menjadi milik negara, Salim yang sebelumnya berutang kepada BCA berubah status menjadi utang kepada negara. Pemerintah kemudian menagih utang tersebut.
Karena keluarga Salim tak memiliki uang tunai, utang dibayar dengan skema Pelunasan Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) yang berwujud Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dengan uang tunai sebesar Rp 100 miliar dan 108 perusahaan. Saat itu penilaian 108 perusahaan menggunakan jasa Danareksa, Bahana dan Lehman Brothers mengeluarkan angka Rp 51,9 triliun. Sehingga utang Grup Salim ke BCA dianggap lunas.
Namun penilaian PricewaterhouseCoopers (PwC) jauh lebih rendah, hanya Rp 20 triliun, karena menggunakan asumsi harus dijual cepat dalam kondisi pasar sulit. Akhirnya pemerintah menerima nilai aset Rp 20 triliun sebagai pelunasan utang Grup Salim dengan recovery rate sekitar 34%.
Untuk menyehatkan kembali perbankan, pemerintah kemudian menerbitkan Obligasi Rekapitalisasi Perbankan (OR) senilai Rp 430 triliun. Khusus untuk BCA, pemerintah menggelontorkan Rp 60 triliun agar rasio kecukupan modal (CAR) mencapai standar internasional 8%.
Dengan tambahan obligasi tersebut, ditambah laba bersih BCA sekitar Rp 4 triliun, dana pemerintah di bank ini diperkirakan mencapai Rp 87,99 triliun.
BPPN Divestasi Saham, BCA Melantai di Bursa
Pada 2000, BPPN melakukan divestasi sebanyak 22,5% dari seluruh saham BCA yang digenggam oleh negara melalui penawaran umum perdana atau Initial Public Offering (IPO). BCA resmi melantai di Bursa Efek Jakarta pada 31 Mei 2000 dengan harga IPO sebesar Rp 1.400. Seiring dengan aksi tersebut, kepemilikan BPPN terhadap BCA menyusut menjadi 70,3%.
Aksi divestasi berlanjut tahun berikutnya. BPPN melakukan secondary offering dengan melepas 10% saham BCA, kepemilikan BPPN kembali tergerus menjadi 60,3%. Lalu pada 2002, FarIndo Investment (Mauritius) Limited, afiliasi Farallon dan Grup Djarum mengambil alih 51% saham melalui tender strategic private placement.
Dua tahun kemudian, BPPN kembali melakukan divestasi ketiga kalinya. Kali ini 1,4% saham BCA dilepas kepada investor domestik melalui penawaran terbatas. Tahun 2005-an, pemerintah melalui BPPN resmi melepas seluruh saham BCA sebanyak 5,02% melalui PT Perusahaan Pengelola Aset. Lalu pada 2007, Grup Djarum sepenuhnya menguasai BCA setelah membeli sisa kepemilikan Farallon di FarIndo.
BCA resmi berganti pengendali dari negara ke grup produsen rokok, Grup Djarum milik Hartono bersaudara.
Dinamika Peralihan Saham
Kwik menilai keputusan menjual 51% saham BCA senilai Rp 10 triliun membuat negara rugi karena nilainya jauh dibanding kerugian Rp 33 triliun yang muncul dari selisih valuasi 108 perusahaan milik Grup Salim yang diserahkan melalui skema Pelunasan Kewajiban Pemegang Saham (PKPS). Kwik menilai langkah penjualan saham BCA pada harga rendah adalah kesalahan fatal pemerintah kala itu.
“Setelah terlambat sekitar tujuh tahun, orang baru menyadari betapa tidak masuk akal dan betapa pemerintah dirugikan dengan penjualan BCA yang sebenarnya bisa dihindari,” ujar Kwik dalam tulisannya.
Di sisi lain, manajemen BCA menyatakan telah menjalani semua prosedur legal dan tersedia dalam pengambilalihan saham BCA. Dalam keterbukaan informasi terbaru yang disampaikan pada Bursa Efek Indonesia, manajemen BCA menyebut tidak ada persoalan dalam peralihan saham.
Jawaban itu sekaligus disampaikan untuk membantah bahwa Djarum telah memberi saham BCA dengan harga yang tidak sesuai harga pasar seperti diungkap oleh Sasmito yang membuat wacana pengambilalihan saham kembali diperbincangkan.
Corporate Secretary BCA I Ketut Alam Wangsawijaya membantah penjelasan Sasmito. Dalam keterangan kepada Bursa Efek Indonesia Ketut mengatakan informasi yang menyebutkan 51% saham BCA dengan nilai Rp 5 triliun melanggar hukum adalah hal yang tidak benar.
“Angka Rp 117 triliun yang sering disebut dalam narasi merujuk pada total aset BCA, bukan nilai pasar perusahaan,” ujar Ketut seperti dikutip Rabu (20/8).
Ia mengatakan, nilai pasar ditentukan oleh harga saham perusahaan di bursa efek, dikalikan dengan jumlah total saham yang beredar. Selanjutnya seiring BCA yang sudah melaksanakan Initial Public Offering (IPO) pada tahun 2000, maka harga saham BCA terbentuk berdasarkan mekanisme pasar.
Pada saat proses strategic private placement dilakukan, nilai pasar BCA berdasarkan harga saham rata-rata di Bursa Efek Indonesia adalah sekitar Rp 10 triliun. Angka inilah yang menurut Ketut menjadi acuan valuasi saat transaksi berlangsung.
“Dengan demikian, nilai akuisisi 51% saham oleh konsorsium FarIndo yang menang melalui tender, merupakan cerminan dari kondisi pasar saat itu,” ujar Ketut.
Ia menjelaskan, tender dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) secara transparan dan akuntabel. Dengan begitu, ia memastikan proses peralihan saham sudah dilakukan sesuai ketentuan.
Lebih jauh Ketut juga membantah informasi bahwa BCA memiliki utang kepada negara senilai Rp 60 triliun yang diangsur setiap tahun sebanyak Rp 7 triliun. Menurut Ketut dalam neraca keuangan perusahaan disebutkan bahwa BCA aset obligasi pemerintah senilai Rp 60 triliun, dan seluruhnya telah selesai pada tahun 2009 sesuai dengan ketentuan dan hukum yang berlaku.