4 Faktor Penyebab IHSG Turun 3%, Sentimen Global hingga Gerak Saham Konglomerasi
Sejumlah analis turut memberikan komentar mengenai alasan anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG hari ini, Jumat (17/10). Berdasarkan data perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG ditutup anjlok 2,57% atau 209,10 poin ke level 7.915.
Pada perdagangan hari ini, IHSG bahkan sempat turun hingga 3% di level 7.860. Analis menilai, sentimen penurunan IHSG disebabkan banyak faktor.
Sentimen itu berasal dari pergerakan investor di pasar modal Indonesia hingga efek perang dagang global antar dua negara adidaya, Amerika Serikat dan Cina. Katadata telah merangkum berbagai poin penyebab ambruknya IHSG hari ini. Berikut ulasannya
Perang Dagang AS–Cina Kian Memanas
Analis pasar modal Hans Kwee menilai tekanan terhadap IHSG sudah mulai terasa sejak 14 Oktober lalu. Ia menjelaskan, ketegangan dagang kembali memanas setelah Cina memperketat kontrol ekspor logam tanah jarang, yang kemudian dibalas oleh Presiden AS Donald Trump dengan menaikkan tarif impor terhadap produk-produk asal Cina hingga 100%.
“Kelihatannya perang dagangnya segera terjadi, jadi itu menyebabkan pasar panik,” ujar Hans saat dihubungi, Jumat (17/10).
Menurut Hans, eskalasi perang dagang menimbulkan ketidakpastian global yang turut mengguncang pasar Indonesia. Selain itu, faktor lain seperti kegagalan dua bank regional AS membayar kredit dan potensi penutupan pemerintahan (shutdown) di AS semakin menekan sentimen ekonomi global.
“Hal ini menimbulkan ketidakpastian dari global yang masuk ke pasar kita,” katanya.
Hans menambahkan, pelemahan IHSG dalam beberapa hari terakhir lebih disebabkan oleh faktor eksternal ketimbang domestik. Meski begitu, ia menilai kondisi fundamental ekonomi Indonesia masih solid berdasarkan data makro yang terjaga.
Sentimen Saham Gorengan Buat Investor Lebih Hati-hati
Hans juga menyoroti pernyataan yang sempat beredar di kalangan pelaku pasar terkait saham gorengan. Menurutnya, isu tersebut membuat investor lebih berhati-hati dalam bertransaksi, meski definisi saham gorengan sendiri belum jelas.
“Pasar jadi menunggu-nunggu, padahal tidak ada definisi yang pasti soal saham gorengan,” katanya.
Ia menambahkan, tekanan jual juga terjadi pada saham-saham berkapitalisasi besar (blue chip) seperti BBCA dan BBRI, yang justru selama ini menjadi penopang IHSG. “Asing jualan terus, ini jadi beban bagi indeks kita. Sementara saham-saham grup konglomerasi dan bertema tertentu malah naik,” ujarnya.
Hans menilai, volatilitas pasar menjadi lebih tinggi karena ketidakjelasan definisi saham gorengan tersebut. “Kalau global merah, dalam negeri jadi lebih bergejolak. Karena kita tidak tahu, apakah saham dengan PER tinggi itu gorengan? Rasanya tidak. Saham teknologi di AS juga PER-nya tinggi, tapi bukan berarti itu saham gorengan,” jelasnya.
Aksi Jual di Saham-Saham Berkapitalisasi Besar
Pengamat pasar modal Reydi Octa berpendapat, tekanan IHSG dipicu oleh aksi jual saham berkapitalisasi besar seperti PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) dan PT Astra International Tbk (ASII).
“Koreksi ini masih tergolong wajar. Pasar sedang menyesuaikan diri setelah reli panjang, dan justru membuka peluang bagi investor untuk masuk kembali ke saham-saham berfundamental kuat,” ujar Reydi.
Menurutnya, meski IHSG kehilangan momentum jangka pendek, potensi rebound teknikal masih terbuka apabila aliran dana asing kembali masuk dan tekanan terhadap saham konglomerasi mulai mereda.
Dalam sepekan terakhir, investor asing tercatat melakukan aksi jual masif terhadap saham-saham unggulan, termasuk BBCA dan BBRI. Padahal, keduanya dikenal sebagai penopang utama IHSG.
Analis Miftahul Khaer dari Tim Riset Kiwoom Sekuritas menilai, keputusan investor asing melepas saham-saham besar bukan semata karena fundamental, melainkan pertimbangan global dan strategi alokasi portofolio.
“Investor institusi tampaknya memperhitungkan risiko makro seperti suku bunga global, kurs, likuiditas, dan ketidakpastian ekonomi global sebagai faktor distribusi risiko,” ujarnya.
Miftah menambahkan, investor kini cenderung mengalihkan dana ke saham-saham yang memiliki momentum lebih bullish, seperti sektor komoditas.
Penurunan Saham Konglomerasi Tekan IHSG
Head of Retail Research MNC Sekuritas, Herditya Wicaksana, menuturkan, dalam beberapa hari terakhir IHSG berada di fase awal tren penurunan (downtrend), sehingga potensi koreksi lanjutan masih terbuka.
“Kami mencermati bahwa emiten-emiten konglomerasi membebani laju IHSG,” kata Herditya.
Ia menilai, penurunan harga saham konglomerasi tergolong wajar setelah sempat menguat signifikan hingga mendorong IHSG ke kisaran 8.200.
Kiwoom Sekuritas memperkirakan, fase aksi jual ini akan bertahan hingga muncul katalis baru. Katalis positif tersebut bisa berasal dari arah kebijakan moneter global yang lebih jelas, data ekonomi positif dari AS, meredanya tensi perang dagang, atau stimulus domestik yang berdampak pada kinerja bank-bank besar.
“Begitu ada sinyal pemulihan, kemungkinan besar aliran modal asing akan kembali masuk ke negara-negara emerging market,” ujar Miftah.