Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berencana melonggarkan aturan kepemilikan tunggal (single presence policy/SPP) perbankan. Melalui revisi aturan ini, OJK bakal memperbolehkan bank besar memiliki lebih dari satu bank.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana menjelaskan,revisi aturan tersebut diharapkan akan rampung pada tahun depan. Kelonggaran tersebut diberikan guna mendorong konsolidasi perbankan.
"Saya tidak akan mengubah ketentuan single presence policy, tapi perlakuannya akan diperluas. Bank besar yang mengambil bank-bank kecil tidak perlu digabung," ujar Heru di Jakarta, Rabu (6/11).
Saat ini, menurut Heru, jumlah bank di Tanah Air mencapai 112 bank. Dari jumlah tersebut, 71% di antaranya masuk dalam kelompok Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) I atau bermodal inti di bawah Rp 1 triliun.
"Apakah mereka di tengah persaingan yang ketat terkait perkembangan ekonomi dunia maupun teknologi bisa survive?," ungkap dia.
(Baca: Usai Akuisisi Bank Royal, BCA Masih Bidik Satu Bank Lagi)
Untuk itu, menurut dia, konsolidasi harus dilakukan bank-bank kecil agar lebih efisien dan memiliki pasar yang lebih luas. Dengan demikian, bank-bank tersebut dapat bertahan di tengah persaingan yang kian ketat.
Sesuai POJK terkait kepemilikan tunggal perbankan, satu pihak hanya dapat menjadi pemegang saham pengendali (PSP) pada satu bank. Namun, ketentuan ini dikecualikan pada PSP yang memiliki dua bank dengan prinsip yang berbeda, yakni konvensional dan syariah, serta jika salah satu banknya merupakan joint venture.
Sementara itu, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiarmadja menilai, konsolidasi sebenarnya tak terlalu menguntungkan bagi bank besar.
"Kalau kami ambil bank kecil, cabang mereka banyak berdekatan dengan cabang kami. Akhirnya saya beli bank kosong, kecuali memang saya butuh bank khusus," jelas Jahja.
Meski tak terlalu menguntungkan bagi bank besar, konsolidasi memang penting bagi OJK karena akan memudahkan pengawasan pada perbankan. Apalagi, jumlah bank kecil saat ini terbilang banyak.
(Baca: OJK Masih Kaji Rencana Revisi Aturan Kepemilikan Tunggal Bank)
BCA sendiri baru saja menyelesaikan proses akuisisi Bank Royal. Rencananya, BCA akan menjadikan anak usahanya ini fokus untuk menjalankan bisnis digital.
Namun sesuai ketentuan, menurut Jahja, Bank Royal baru dapat melayani pembayaran digital jika sudah masuk dalam kelompok BUKU 2 atau bermodal inti di atas Rp 1 triliun. Sementara modal inti Bank Royal hingga September 2019 baru mencapai Rp 319,7 miliar. Artinya, BCA kemungkinan akan menyuntik anak usahanya itu sebesar Rp 700 miliar.
Jahja sebelumnya juga menyatakan pihaknya masih berencana mengakuisi satu bank lagi sesuai Rencana Bisnis Bank (RBB) perseroan. Namun, ia mengaku tak akan tergesa-gesar mengeksekusi rencana tersebut.
BCA sebelumnya menargetkan akuisisi pada dua bank agar dapat mengantongi kepemilikan saham mayoritas. Namun saat ini, BCA telah memiliki 99,99% saham Bank Royal dan sisanya 0,01% dikuasai BCA Finance.
(Baca: Ini Profil Bank Royal yang Diakusisi BCA Hampir Rp 1 Triliun)
Sesuai Peraturan OJK terkait kepemilikan saham pada bank umum, mayoritas kepemilikan saham pada bank umum ditetapkan sebesar 40%. Namun, badan hukum lembaga keuangan bank dapat memiliki saham pada bank lebih dari 40% atas persetujuan OJK setelah memenuhi sejumlah persyaratan.
Bank juga dapat memiliki lebih dari 40% saham pada bank lain hasil penggabungan atau merger, serta pada bank yang sedang dalam penyelamatan LPS, pengawasan intensif, dan pengawasan khusus ketika dibeli.
Sebelumnya, BCA mencatatkan laba bersih hingga kuartal III 2019 mencapai Rp 20 triliun dan menjadi bank dengan laba bersih terbesar kedua setelah BRI seperti tergambar dalam tabel di bawah ini.