Pemerintah tengah menyiapkan aturan guna menjalankan sanksi pencabutan layanan publik bagi peserta BPJS kesehatan yang menunggak pembayaran iuran. Layanan publik yang berpotensi dicabut, antara lain pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) dan passpor.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris menjelaskan sanksi pencabutan layanan publik bagi masyarakat yang belum mendaftarkan diri sebagai peserta BPJS Kesehatan maupun peserta yang menunggak iuran sebenarnya sudah dalam Undang-Undang BPJS Kesehatan dan Peraturan Presiden turunannya. Namun hingga kini, penegakan hukum aturan sanksi tersebut belum berjalan.
"Law enforcement seperti sanksi (pencabutan layanan publik) tidak jalan. Akibatnya, tingkat kolektabilitas (iuran) rendah," ujar Fahmi di Jakarta, Senin (8/10).
Sanksi layanan publik tersebut sebenarnya sudah tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 86 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara Dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, Dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial.
Dalam regulasi itu mengatur mengenai sanksi tidak bisa mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Surat Izin Mengemudi (SIM), sertifikat tanah, paspor, dan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) bila menunggak membayar iuran BPJS Kesehatan.
(Baca: Kemenkeu Sebut Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Berpeluang Lebih Kecil)
Namun, menurut dia, belum ada satu pun sanksi yang berjalan. Akibatnya, tingkat kolektabilitas iuran peserta mandiri atau PBPU yang berjumlah 32 juta jiwa hanya mencapai sekitar 50 persen. Padahal, menurut dia, sanksi dapat meningkatkan kolektabilitas iuran peserta.
Fahmi mencontohkan, di Korea Selatan, penerapan sanksi dapat meningkatkan kolektabilitas peserta dari 25% menjadi 90%. Tak hanya menerapkan sanksi, BPJS di negara tersebut bahkan dapat mengintip rekening para pesertanya.
Oleh karena itu, menurut dia, pemerintah saat ini tengah menyiapkan aturan yang secara otomatis bisa memberikan sanksi kepada penunggak iuran BPJS Kesehatan. Dengan regulasi tersebut, pelaksanaan sanksi layanan publik akan diotomatiskan secara daring antara data di BPJS Kesehatan dengan basis data yang dimiliki oleh kepolisian, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil, Badan Pertanahan Negara, dan lain-lain.
"Inpres-nya (instruksi presiden) sedang diinisiasi untuk sanksi pelayanan publik," kata dia.
Dengan demikian, menurut dia, apabila ada seseorang yang ingin mengakses layanan publik seperti memperpanjang SIM tetapi masih menunggak iuran, sistem yang terintegrasi secara daring tidak bisa menerima permintaan tersebut.
Saat ini, menurut dia, BPJS Kesehatan sebenarnya telah menerapkan sistem autodebet bagi peserta yang baru mendaftar. Akun bank peserta secara otomatis akan berkurang jumlahnya untuk dibayarkan iuran kepada BPJS Kesehatan.
(Baca: Wamenkeu: Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Opsi Terakhir agar JKN Jalan)
Namun, sistem autodebet tersebut masih memungkinkan gagal apabila peserta sengaja tidak menyimpan uang pada nomor rekening yang didaftarkan lalu membuka akun bank baru. Oleh karena itu, Fachmi berharap pada regulasi mengenai automasi sanksi akan meningkatkan kepatuhan dan kepedulian masyarakat dalam membayar iuran.
Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo menambahkan dengan inpres tersebut, peserta BPJS Kesehatan yang menunggak iuran sulit mengurus sejumlah dokumen, seperti paspor. Dengan pemberlakuan sanksi, diharapkan tingkat kolektabilitas iuran peserta bisa meningkat di atas 60%.
"Sebenarnya yang membuat BPJS Kesehatan berdarah adalah PBPU (peserta bukan penerima upah) yang saat ini sedangg kami rapikan datanya juga dan tegakkan sanksinya," kata dia.
Selain menegakkan sanksi bagi penunggak iuran, menurut dia, pemerintah juga akan mengatur larangan bagi peserta mandiri untuk naik kelas layanan. "Kalau yang nakal itu kan bayar iuran kelas II atau III lalu naik kelas. Nanti diharapkan tidak boleh lagi seperti itu," terang dia.