Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat pangsa pasar industri perbankan syariah masih sangat kecil jika dibandingkan dengan perbankan konvensional. Hal ini disebabkan oleh beberapa tantangan yang masih harus dihadapi industri tersebut. Oleh karenanya, OJK menyiapkan beberapa strategi.
Kepala Departemen Perbankan Syariah Ahmad Soekro Tratmono menjelaskan hingga Oktober 2017 ini, pangsa pasar perbankan syariah baru sebesar 5,55 persen dari total keseluruhan industri perbankan nasional. "Minat masyarakat terhadap bank syariah memang terus meningkat, tetapi OJK akan terus mendorong industri mensosialisasikan (produknya)," ujarnya saat diskusi dengan media, di Kantor Pusat OJK, Jakarta, Jumat (15/12).
(Baca: Baru 10% Masyarakat Indonesia Melek Keuangan Syariah)
Total asetnya pun baru mencapai Rp 406,23 triliun. Dari segi aset, perbankan syariah memang memang terus mengalami peningkatan. Pada 2013, asetnya baru Rp 248,11 triliun, kemudian naik di 2014 sebesar Rp 278,92 triliun, 2015 sebesar Rp 304 triliun, dan 2016 menjadi Rp 365,03 triliun.
Dana Pihak Ketiga (DPK) pun mengalami peningkatan pada Oktober 2017 ini sebesar 14,22 persen atau sebesar Rp 325,69 triliun jika dibandingkan posisi di akhir tahun 2016. Lalu, pembiayaan yang diberikan (PYD) naik 10,69 persen menjadi Rp 281,86 triliun. Sementara, rasio kecukupan modal atau Credit to Adequacy Ratio (CAR) berada di level 15,62 persen.
Adapun pembiayaan yang macet atau Non-Performing Financing (NPF) secara gross berada di angka 4,12 persen dan net di angka 2,35 persen. Kemudian, tingkat pengembalian aset atau Return of Asset (ROA) sebesar 1,22 persen, rasio pembiayaan terhadap simpanan atau Financing to Deposit Ratio (FDR) sebesar 85,92 persen, dan Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) sebesar 89,15 persen.
(Baca: Potensi Ekonomi Syariah Dunia US$ 6,38 Triliun pada 2021)
Soekro mengatakan OJK masih harus mendorong perkembangan perbankan syariah ini ke depannya agar bisa tumbuh signifikan. Terdapat tujuh arah kebijakan yang akan dilakukan. Pertama, memperkuat sinergi kebijakan antara otoritas dengan pemerintah dan stakeholder lainnya. Kedua, memperkuat permodalan dan skala usaha, seta memperbaiki efisiensi.
Ketiga, memperbaiki struktur dana untuk perluasan segmen pembiayaan. Keempat, memperbaiki kualitas layanan dan keragaman produk. Kelima, memperbaiki kuantitas dan kualitas SDM dan infrastruktur lainnya. Keenam, meningkatkan literasi masyarakat. Ketujuh, memperkuat dan harmonisasi pengaturan dan pengawasan.
(Baca: OJK Menilai Kemiskinan Hambat Ekonomi Syariah di Indonesia)
Salah satu bentuk konkrit yang tengah dijalankan adalah mendorong perbankan konvensional memiliki unit usaha syariah (UUS), agar melepas (spin off) unit usaha tersebut dengan membentuk satu entitas independen sendiri. Terdapat dua cara yang bisa dilakukan yaitu melepas UUS tersebut atau mengkonversi bank konvensional menjadi bank syariah. Ini sesuai dengan Undang-Undang (UU) 27 tahun 2008.
"Ada satu Bank Pembangunan Daerah (BPD) Jawa Timur (Jatim) mau spin off di tahun 2018," ujarnya. OJK pun akan terus mendorong perbankan lainnya melakukan hal serupa. Apalagi, akan lebih baik jika UUS yang ada digabungkan sehingga memiliki kapasitas yang lebih besar. Sementara, yang telah berkonversi dari konvensional ke bank syariah adalah Bank Aceh.
Untuk tahun depan, OJK memproyeksikan akan terjadi pertumbuhan dari segi pembiayaan perbakan syariah sebesar 10-12 persen. Hal ini disebabkan oleh potensi di industri atau sektor rill yang mulai bertumbuh. Terlebih, pengusaha di Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia didorong untuk melakukan transaksi keuangan di perbankan syariah terutama yang telah mendapatkan sertifikasi halal.
(Baca: Pengusaha Ingin Proses Sertifikasi Halal Bebas Biaya)