Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, instansinya akan berupaya mengembangkan lebih jauh teknologi dalam sistem perpajakan. Tujuannya, agar peringkat kemudahan membayar pajak (paying taxes) bisa meningkat atau minimal tidak kembali turun.
Bank Dunia baru saja merilis laporan mengenai peringkat kemudahan berusaha (Ease of Doing Business/EoDB). Peringkat Indonesia tercatat naik 19 level ke posisi 72 dunia. Namun, sebanyak tiga dari 10 Indikator perlu dibenahi, di antaranya tentang paying taxes. Peringkat paying taxes Indonesia turun 10 level ke posisi 114 dunia.
Adapun untuk jangka pendek, pihaknya bakal mengevaluasi fasilitas e-filling dan e-payment untuk pelaporan dan pembayaran pajak. "Kami sudah introduce (memperkenalkan) e-filling dan e-payment. Tapi, kami akan evaluasi kinerjanya itu," kata Sri Mulyani di Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (2/11). (Baca juga: Peringkat Kemudahan Usaha RI Naik, Urusan Pajak Dapat Nilai Minus)
Meski begitu, Sri Mulyani menekankan untuk memperbaiki peringkat paying taxes diperlukan pengembangan teknologi lebih jauh dari yang ada sekarang ini. Sebab, negara lain juga terus memperbaiki teknologinya. Jika tidak, Indonesia bakal kesulitan menaikkan peringkat paying taxes.
"Walau Indonesia membaik dari sisi menggunakan online tapi negara lain juga membaik lebih cepat maka kami perlu ambisius lagi," ujarnya.
Sementara itu, Peneliti Perpajakan Universitas Pelita Harapan (UPH) Ronny Bako berpendapat, fasilitas untuk pelaporan dan pembayaran pajak sebenarnya sudah baik, di antaranya karena Ditjen Pajak sudah menerapkan e-filling dan e-payment. Yang menjadi catatan yaitu dari sisi tarif.
Menurut dia, tarif pajak di Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara lain. Selain itu, investor asing kebanyakan tak tahu perihal fasilitas restitusi atau lebih bayar pajak. Sebab, di negara lain, mayoritas pajaknya bersifat final. Namun, jika ingin menyesuaikan tarif dan jenis pajak harus mengubah Undang-Undang. (Baca juga: Pengusaha: Ranking Kemudahan Usaha Naik Tak Otomatis Memacu Investasi)
"Itu membutuhkan waktu karena harus dibahas dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tapi kalau mau, pemerintah bisa menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu)," kata dia kepada Katadata.