Bank Indonesia (BI) menyatakan bakal menyesuaikan bunga instrumen operasi moneter pasca penurunan bunga acuan. Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan mengatakan langkah tersebut perlu diambil lantaran tingginya bunga di instrumen tersebut membuat bank lebih memilih untuk memarkir dananya di sana. Padahal, dana tersebut semestinya bisa disalurkan ke masyarakat dalam bentuk kredit.
Menurut Anton, bunga instrumen moneter BI seperti Sertifikat BI dan Sertifikat Deposito BI memang tergolong tinggi. "Sekarang yield-nya (imbal hasil-nya) agak tinggi, untuk yang setahun itu 6%. Yang (tenor) lainnya juga masih agak tinggi tuh lima sekian (persen). Ini ketinggian," kata Anton kepada Katadata, Rabu (23/8). Jumlah dana perbankan yang diparkir di BI mencapai Rp 500 triliun. (Baca juga: Dongkrak Ekonomi, BI Akhirnya Pangkas Bunga Acuan Jadi 4,5%)
Ia mencontohkan, bila beban biaya dana (cost of fund) bank hanya 2%, seperti Bank Central Asia (BCA), bunga instrumen moneter tenor setahun 6%. Maka, dengan hanya menempatkan uangnya di BI, bank mendapat untung 4%. Penempatan itu pun tanpa risiko dibanding dengan menyalurkan kredit yang berisiko gagal bayar.
Dengan penurunan bunga instrumen operasi moneter, harapannya, bank bisa memindahkan dananya keluar dari BI, terutama untuk disalurkan ke kredit. Di sisi lain, biaya operasi moneter BI juga akan menjadi lebih ringan. Meski begitu, Anton memberikan catatan. Bank masih akan bingung menempatkan dananya jika keluar dari BI. Sebab risiko kredit saat ini masih tinggi.
Maka itu, ia pun mendukung rencana memperketat kembali restrukturisasi kredit Bank. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merelaksasi aturan restrukturisasi kredit sejak 2015. Kebijakan itu akan berakhir pada Agustus 2017. Menurut Anton, imbas kebijakan itu, restrukturisasi perbankan sifatnya menjadi semu, karena kualitasnya tetap saja jelek.
"Makanya dia (BI) bilang akan kerja sama dengan OJK untuk restrukturisasi. Jadi banknya dibuat lebih benar. Percuma kalau ini belum benar, uang keluar dari BI mau ditaruh ke mana? Ini harus benar dulu. Harapannya kan kredit untuk mendorong perekonomian," kata dia.
Di sisi lain, ia juga mendorong rencana BI memperlonggar aturan uang muka Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) untuk menggenjot kredit. Akan tetapi, jika skemanya adalah penyesuaian uang muka berdasarkan wilayah, dia khawatir akan terjadi distorsi. Ia mencontohkan, BI memperlonggar uang muka di daerah A namun tidak di B, maka masyarakat akan berpindah ke wilayah A.
"Tapi semangat untuk coba merelaksasi makroprudensial terkait dua sektor itu (properti dan otomotif) seharusnya sejalan untuk mendorong ekonominya," ucapnya. (Baca juga: BI Godok Aturan Uang Muka Rumah dan Kendaraan Sesuai Wilayah)
Hingga Juni lalu, pertumbuhan kredit hanya mencapai 7,8% secara tahunan (year on year), bahkan kurang dari 3% jika dihitung sejak awal tahun (year on date). BI pun memprediksi pertumbuhan kredit hanya mencapai 8-10% tahun ini, turun dari prediksi sebelumnya 10-12%.