PT Garuda Indonesia Tbk tengah terbelit masalah keuangan dan permodalan yang berat. Maskapai penerbangan BUMN ini memohon kepada pemegang surat utang syariah (sukuk) global senilai US$ 500 juta untuk melonggarkan persyaratan. Alasannya, kerugian Garuda yang membengkak telah menggerus modalnya sehingga anjlok di bawah batas yang ditentukan dalam perjanjian surat utang tersebut.
Garuda berencana menggelar Rapat Umum Pemegang Obligasi (RUPO) sukuk global senilai US$ 500 juta di Hong Kong, 18 Agustus mendatang. Rapat itu bertujuan meminta persetujuan pemegang sukuk untuk mengamendemen perjanjian.
Revisi menyangkut persyaratan batasan rasio keuangan yang harus dipenuhi Garuda. Dalam surat kepada otoritas bursa Singapura dimana sukuk tersebut dicatatkan, Kamis (27/7), Garuda merinci poin-poin persyaratan yang akan direvisi dan dimintakan persetujuannya kepada pemegang sukuk.
Di antaranya adalah penurunan batasan minimal total modal konsolidasi Garuda menjadi US$ 500 juta dari sebelumnya US$ 800 juta. Selain itu, menaikkan batasan rasio total utang terhadap modal atau debt to equity ratio (DER) menjadi tiga kali dari semula 2,5 kali.
“Sebelum pengumuman ini, kami telah memulai diskusi dengan kreditor untuk mencari keringanan dan modifikasi perjanjian seperti diminta dalam proposal permohonan persetujuan (consent solicitation),” kata manajemen Garuda dalam surat keterbukaan informasi tersebut yang juga ditembuskan ke Bursa Efek Indonesia (BEI).
(Baca: Tertekan Harga BBM, Rugi Garuda Bengkak 349% Jadi US$ 283 Juta)
Sukuk global Garuda senilai US$ 500 tersebut bertenor 5 tahun yang jatuh tempo tahun 2020, dengan kupon 5,95%. Saat diterbitkan pada 2015, sukuk ini mencatatkan kelebihan permintaan sampai empat kali lipat dari nilai penawaran.
Kala itu, Garuda mengklaim menjadi perusahaan pertama di Asia Pasifik yang menerbitkan sukuk global berdenominasi dolar dengan jumlah pemesanan sangat banyak. Mayoritas investornya dari Timur Tengah sebanyak 56%, Asia 32%, dan Eropa 12%.
Sukuk tersebut terikat pada tiga batasan rasio keuangan, yaitu modal tidak boleh kurang dari US$ 800 juta, DER di atas 2,5 kali, dan kas dan setara kas berbanding pendapatan usaha grup tidak kurang dari 5%.
Per 30 Juni 2017, DER Garuda sebesar 1,38 kali, kas dan setara kas berbanding pendapatan usaha sebesar 9,54% dan jumlah modal US$ 717,69 juta.
“Per 30 Juni 2017, perusahaan telah melanggar batasan rasio keuangan yang disyaratkan dalam perjanjian, khususnya jumlah ekuitas grup,” tulis manajemen Garuda dalam laporan keuangan semester I-2017 yang dipublikasikan Kamis (27/7).
Karena itulah, Garuda memohon perubahan batasan rasio keuangan tersebut kepada pemegang sukuk agar tidak wanprestasi atau cidera janji. Kondisi ini bisa menyebabkan pemegang sukuk berbondong-bondong mencairkan dananya sebelum jatuh tempo sehingga bakal kian mengancam keuangan Garuda.
Terpukul tax amnesty
Modal Garuda per 30 Juni 2017 memang mencapai US$ 717,69 juta, atau anjlok 29% dibandingkan posisi akhir 2016 yang sebesar US$ 1 miliar.
Susutnya modal itu seiring membengkaknya kerugian bersih yang diderita perusahaan selama enam bulan pertama tahun ini. Nilainya mencapai US$ 283,8 juta atau membengkak 349% dibandingkan semester I-2016 yang mencatatkan rugi bersih US$ 63,2 juta.
Kerugian Garuda dari operasional usaha sebenarnya US$ 145,5 juta. Namun, perusahaan juga mencatatkan rugi bersih US$138,3 juta karena membayar uang tebusan program pengampunan pajak (tax amnesty) yang diikuti oleh beberapa anak usahanya pada April lalu.
“Nett loss Garuda secara keseluruhan di semester-I 2017 sebesar US$ 283,8 juta," ujar Direktur Utama Garuda Pahala N. Mansyuri, Kamis (27/7).
Jika ditilik secara kuartalan, perusahaan ini sebenarnya mampu menekan rugi bersih hingga 62% menjadi US$ 38 juta pada kuartal II-2017 dari kuartal sebelumnya yang merugi US$ 99,1 juta. Perbaikan juga tercermin dari kenaikan pendapatan opersional Garuda pada semester I-2017 sebesar 7% menjadi US$ 1,9 miliar.
Menurut Pahala, peningkatan pendapatan ini merupakan capaian yang baik di tengah menurunnya kinerja operasional industri penerbangan dunia. Karena itu, dia tetap optimistis terhadap kemampuan perusahaan dalam menunaikan kewajiban-kewajibannya, termasuk sukuk global US$ 500 juta.
Strategi lain Garuda untuk meningkatkan modal dan kinerja keuangannya adalah menjual anak usahanya, GMF Aero Asia, melalui penawaran saham perdana ke publik (IPO) tahun ini. Target perolehan dananya US$ 150 juta.
Pada perdagangan saham di BEI, Jumat (28/7), harga saham Garuda sempat anjlok 2,8% dibandingkan penutupan hari sebelumnya menjadi Rp 346 per saham.