Presiden Direktur PT Bank Mandiri Tbk Kartika Wirjoatmodjo menyatakan, investor asing terbuka dan menaruh minat terhadap surat utang korporasi Indonesia berdenominasi rupiah yang diterbitkan di pasar luar negeri. Hal tersebut terungkap dalam pertemuan informal antara sejumlah investor global dengan direksi bank terbesar di Indonesia ini di London dan Singapura sekitar dua bulan lalu.
Menurut dia, minat investor asing itu didukung oleh mulai stabilnya pergerakan nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS. "Demand rupiah lumayan besar. Kami sempat ketemu di London dan Singapura beberapa investor. Mereka lihat volatility dari rupiah semakin lama semakin turun," ujar Kartika kepada Katadata dalam sebuah wawancara khusus di Jakarta Selatan, baru-baru ini.
Walaupun belum ada perusahaan domestik yang tercatat oleh media telah menerbitkan surat utang rupiah di luar negeri, kesempatan melakukan aksi korporasi tersebut terbuka lebar saat ini. Kartika menggambarkan potensi keuntungan yang diraih investor asing dengan membeli obligasi rupiah.
"Katakanlah mereka (investor) factor in 3-4% rupiah depreciation every year. Kalau kita terbitkan bond 9 persen (dalam denominasi rupiah), mereka masih dapat net yield-nya (keuntungan) 5 persen. Lima persen buat offshore investor, kalau mereka ambilnya perusahaan-perusahaan BUMN yang satu notch di bawah sovereign rating (peringkat kredit), it's actually quite a good yield," katanya.
Pemerintah Indonesia sedang menggenjot pembangunan infrastruktur -- seperti jalan, pelabuhan, pembangkit listrik -- di dalam negeri yang membutuhkan pendanaan triliunan rupiah. Hal ini dilakukan seiring dengan usaha untuk memotong biaya logistik, yang pada gilirannya akan membantu industri-industri dalam negeri untuk bisa lebih efisien dan bersaing berjualan produknya di pasar global.
Infrastruktur dibangun sedemikian banyak, tapi sumber pembiayaannya terbatas dari dalam negeri. Hampir semua proyek infrastruktur, seperti jalan tol, pelabuhan, bandara, dan lain-lain membutuhkan komponen biaya dalam rupiah. Mulai dari pembebasan lahan hingga konstruksi.
Jadi, pembiayaan dari investor luar negeri dalam denominasi rupiah – bukan dolar seperti pada umumnya -- akan sangat membantu program pembangunan infrastruktur pemerintah. “Oleh karena itu kami ingin coba dorong untuk menerbitkan obligasi korporasi global dalam denominasi rupiah. Jadi paper yg didistribusi di luar negeri, tapi dalam rupiah,” ujar Kartika.
BUMN yang ditugaskan membantu pembangunan infrastuktur di luar sektor perbankan sehingga membutuhkan pendanaan dalam rupiah, antara lain adalah perusahaan konstruksi PT Wijaya Karya Tbk dan perusahaan listrik PT PLN (Persero). Harga saham Bank Mandiri (BMRI) selama setahun terakhir naik 31 persen menjadi Rp 12.750 per saham, sementara Wijaya Karya (WIKA) turun 16 persen menjadi Rp 2.210.
Selama paruh pertama 2017, nilai penerbitan obligasi perusahaan domestik di Indonesia sebesar Rp 70 triliun. Jumlahnya lebih dari separuh nilai emisi obligasi sepanjang tahun lalu yang sebesar Rp 125 triliun, dan Rp 67 triliun pada 2015.
Presiden Joko Widodo berharap proyek infrastruktur, yang memiliki efek berantai yang besar, dapat membantu mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih merata. Ujung-ujungnya, dapat meningkatkan daya beli masyarakat dan mengurangi tingkat kemiskinan.
Komitmen pemerintah dalam melaksanakan pembangunan infrastruktur terus meningkat. Anggaran negara yang dialokasikan untuk membiayai pembangunan sarana dan prasarana juga terus dinaikkan. Pada 2017, dana yang dianggarkan untuk infrastruktur sebesar Rp 346,6 triliun atau naik 9,3 persen dari 2016.
Rupiah stabil
Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS jauh jauh lebih stabil belakangan ini. Bahkan pada tahun 2016, rupiah menguat sekitar 2 persen terhadap dolar AS, pertama kalinya sejak tahun 2010.
Usaha Bank Indonesia melarang pembelian dolar yang tidak memiliki underlying transaction (transaksi pendukung sebagai alasan pembelian dolar) dan kebijakan mengharuskan penggunaan rupiah dalam semua transaksi di dalam negeri telah mampu meredam volatilitas nilai tukar rupiah. Sebab, kegiatan spekulasi perdagangan mata uang rupiah menjadi hampir tidak ada.
Sementara di sisi perdagangan internasional, Indonesia membukukan surplus perdagangan yang terus meningkat, yang berarti risiko pelemahan rupiah dapat lebih terkendali. Pada kuartal pertama 2017, tercatat surplus sebesar US$ 3,92 miliar, dibanding dengan US$ 8,78 miliar dan US$ 7,67 miliar berturut-turut pada keseluruhan tahun 2016 dan 2015.
Hal positif ini juga didukung oleh pemberian penilaian ‘layak investasi’ untuk Indonesia, oleh lembaga pemeringkat kredit Standard & Poor’s pada bulan Mei lalu. Sebelumnya Indonesia sudah diberikan penilaian yang sama oleh Fitch Ratings dan Moody’s.