Gubernur BI: 3 Sebab Rupiah Sulit Menguat Lagi ke 9.000 per US$

Arief Kamaludin|KATADATA
Penulis: Desy Setyowati
Editor: Pingit Aria
13/6/2017, 20.10 WIB

Saat ini, inflasi cenderung menurun 3,02 persen, namun implikasi tingginya indeks harga konsumen di masa lalu terhadap nilai tukar rupiah masih terasa. "Maka, kurs rupiah lemah dan itu kumulatif bertahun-tahun. Jadi Rp 13.000-an per US$ itu cerminan fundamental ekonomi Indonesia," tuturnya.

Faktor terakhir, Agus menyebut, adanya dana asing dari stimulus The Fed atau quantitative easing dalam jumlah besar sebelum 2013 sebagai penyebab tingginya nilai tukar rupiah saat itu.

(Baca juga:  Efek Peringkat S&P, Pemerintah Hemat Biaya Utang Lebih Rp 1 Triliun)

Kini, meski rupiah lebih rendah dibandingkan lima tahun lalu, namun kondisinya sudah terbilang stabil. Itu didukung oleh capital inflow sebesar Rp 112 triliun sejak awal tahun, yang lebih tinggi dibanding periode sama tahun lalu sekitar Rp 70 triliun. "Sekarang kami sebutnya periode normal baru," kata Agus.

Seperti diketahui, asumsi nilai tukar Rupiah dari  BI  berada di kisaran Rp 13.400 -13.700 per US$. Angka itu lebih baik dibandingkan dengan asumsi nilai tukar milik pemerintah yang berada pada kisaran Rp13.500 - 13.800 per US$ yang tertuang dalam Kerangka Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018.

Halaman: