Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan telah menerima 664 pengaduan dari nasabah terkait kredit pemilikan rumah (KPR). Pengaduan itu di antaranya berisi keluhan tentang penggelembungan harga dan mangkraknya pembangunan properti oleh pengembang.
Direktur Perlindungan Konsumen OJK Agus Fajri membeberkan, terdapat enam jenis pengaduan terkait KPR yang diterima institusinya. Pertama, pengaduan seputar prilaku bisnis pengembang. OJK menyebut ada pengaduan tentang dugaan penggelembungan harga oleh pengembang. Pasalnya, harga properti berubah dari tawaran awal, dengan alasan telah terjual habis (sold out).
"Ada kasus, misalnya, tiba-tiba sold out. Ternyata developer-nya (pengembangnya) juga yang beli pakai nama alias, sehingga harga mark up jadi sangat tinggi," ujar Agus dalam acara diskusi bertajuk 'Sinergi antara Regulator, Perbankan, Pengembang dalam Meningkatkan Pertumbuhan Kredit dan Perlindungan Konsumen di Sektor Properti' di Hotel Kempinski, Jakarta, Rabu (17/5). (Baca juga: Ditjen Pajak: Kontribusi 100 Wajib Pajak Besar Sektor Properti Anjlok)
Kedua, pengaduan karena ketidakpahamaman konsumen. Ia menyebut adanya konsumen yang terjerat kredit macet lantaran membeli rumah di luar kemampuannya. Selain itu, ada pula konsumen yang mengeluh karena tidak memahami perbedaan konteks hukum di bank konvensional dan syariah.
Di luar itu, OJK juga menemukan adanya konsumen yang kurang mengenal pengembangnya, sehingga ada persoalan rumah yang belum juga terbangun selama bertahun-tahun padahal kreditnya sudah dibayarkan. Selain itu, ada juga konsumen tidak memahami bahwa ada biaya di luar uang muka seperti pajak dan notaris yang harus dibayarkan.
Ketiga, pengaduan seputar layanan perbankan. OJK menemukan adanya nasabah yang tak bisa mendapatkan surat-surat rumah meski sudah melunasi kreditnya. Penyebabnya, pengembang ternyata meminjam modal ke bank dan tak bisa melunasinya. Alhasil, surat-surat rumah dipegang oleh bank yang bersangkutan.
Keempat, pengaduan terkait asuransi rumah. Menurut Agus, seringkali asuransi rumah yang disiapkan pengembang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Rumah mendapat asuransi kebakaran, misalnya, padahal rumah yang ingin dibeli belum jadi. (Baca juga: Kemenkeu Dorong Uang Muka 1 Persen untuk Rumah Murah)
Kelima, pengaduan terkait notaris. Terakhir, pengaduan terkait penilai (appraisal) harga rumah yang menaksir harga jual lebih murah dari harga pembelian. "Misalnya, harga rumah mau dijual (menurut penilai) lebih murah dibanding harga lima tahun lalu. Bagaimana caranya coba itu?" tutur Agus.
Guna meningkatkan perlindungan konsumen ke depan, Agus menyatakan, institusinya telah menetapkan dua strategi utama. Strategi pertama, meningkatkan pengawasan terhadap bank dan asuransi terkait KPR. OJK mendorong asuransi menyusun standarisasi perjanjian aturan baku terhadap pihak-pihak terkait KPR dan pengawasan terhadap implementasi penerapan ketentuan KPR.
Strategi kedua, mengupayakan perbaikan layanan bank. Caranya, dengan mendorong bank memberikan edukasi dan perlindungan KPR, membuat mekanisme kerjasama antarbank terkait proses take over kredit (pengambialihan kredit), dan memasukkan ketentuan tentang reputasi developer yang akan bekerja sama dengan bank.
Menanggapi baragam pengaduan konsumen, Direktur PT Summarecon Agung Tbk Adrianto Pitoyo Adhi menekankan bahwa bukan hanya konsumen yang dirugikan dalam soal transaksi properti. Terkadang, pengembang pun ikut dirugikan. Ia menyebut adanya konsumen yang sengaja menahan serah terima properti karena enggan menanggung biaya perawatan. Pasalnya, konsumen membeli intuk investasi bukan untuk langsung ditempati.
"End user itu yang buru-buru pindah, itu bagus, karena kami enggak keluarkan biaya perawatan. Kalau investor dia akan berhitung, makanya dia enggak mau langsung serah terima, karena dia enggak mau rugi bayar biaya perawatan," kata dia.