Transaksi SBN Capai Rp 7.500 Triliun, BI Perpanjang Kerja Sama Kliring

Arief Kamaludin|KATADATA
Bank Indonesia
20/3/2017, 18.07 WIB

Bank Indonesia (BI) memperpanjang kerja sama dengan PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) sebagai penyelenggara kliring atas transaksi obligasi negara di pasar sekunder. Kerja sama tersebut penting untuk meningkatkan kualitas data transaksi seiring dengan tingginya transaksi Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder yaitu mencapai Rp 7.500 triliun pada tahun lalu.

“Kerja sama ini penting untuk meningkatkan kualitas data transaksi pasar sekunder, mengingat perdagangan SBN di pasar sekunder mayoritas dilakukan di luar bursa (over the counter),” kata Deputi Gubernur BI Sugeng saat acara perjanjian kerja sama antara BI dan KPEI di Gedung BI, Jakarta, Senin (20/3). (Baca juga: Surat Utang Indonesia Makin Seksi Pasca Bunga Fed Naik)

Sugeng merinci, total SBN yang ditransaksikan di pasar sekunder selama tahun 2016 mencapai Rp7.527 Triliun. Adapun, hingga pertengahan Maret 2017, total kepemilikan SBN yaitu sebesar Rp 1.895 triliun.

Sementara itu, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan mencatat, rata-rata perdagangan harian SBN mencapai Rp 18,61 triliun per 16 Maret 2017. Jumlah tersebut terdiri dari transaksi outright Rp 11,67 triliun, repo bank Rp 510 miliar, dan repo dengan BI Rp 6,43 triliun.

Adapun, transaksi outright yaitu transaksi jual beli surat berharga pasar uang atas dasar sisa jangka waktu surat utang tersebut tanpa kewajiban untuk membeli kembali sebelum tanggal jatuh tempo. (Baca juga: Sri Mulyani: Investor Amerika Lebih Minati Surat Utang Indonesia)

Sugeng menjelaskan, penunjukan KPEI merupakan bagian dari upaya untuk mendukung rencana pemerintah dalam meningkatkan aktivitas, diversifikasi investor, efisiensi, dan transparansi perdagangan obligasi negara di pasar sekunder. Selain itu, penunjukan tersebut merupakan dukungan BI terhadap rencana implementasi Electronic Trading Platform (ETP) untuk transaksi SBN di luar bursa, yang pada akhirnya diharapkan dapat mendukung pengembangan pasar surat utang di Indonesia.

Sementara itu, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan, instansinya bersama dengan BI dan Kementerian Keuangan juga sudah membentuk Tim Pengembangan Surat Utang. Tujuannya untuk mengembangkan pasar surat utang.  

Tim ini sudah menyelesaikan beberapa aturan, di antaranya Global Master Repurchase Agreement (GMRA). Selain itu, tim juga mewajibkan setiap transaksi surat utang harus dilaporkan maksimal setengah jam setelahnya. Hal ini dilakukan agar penentuan harga di pasar lebih transparan.

“Ini karena industri menganggap market kurang transaparan, sehingga price discovery kurang terjadi,” ujar Nurhaida. Price discovery adalah proses penentuan harga suatu aset melalui interaksi yang dilakukan pembeli dan penjual di pasar.

Tim ini juga yang membangun ETP pada 2014. Tujuannya bisa menjadi sistem yang mewadahi seluruh transaksi dana perbankan di waktu yang sama (real time). Melalui ETP ini, ia berharap pengawasan menjadi lebih mudah.

Untuk meningkatkan permintaan (demand) terhadap surat utang, OJK juga menerbitkan POJK Nomor 1 Tahun 2015 yang memberikan syarat bagi perusahaan asuransi dan dana pensiun untuk memiliki SBN minimal 30 persen dan 20 persen.