Likuiditas ketat masih membayangi industri perbankan nasional tahun ini. Tekanan terbesar kemungkinan dialami Bank Pembangunan Daerah (BPD) akibat kebijakan pemerintah menyalurkan dana transfer daerah yaitu dana bagi hasil (DBH) dan dana alokasi umum (DAU) dalam bentuk nontunai melalui penerbitan surat berharga negara (SBN).
Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan mengatakan, untuk mengatasi ketatnya likuiditas, bank bisa menerbitkan surat utang jangka pendek seperti medium term notes (MTN) dan surat berharga komersial atau commercial paper.
Meski begitu, ia meyakini tekanan likuiditas tidak akan terlalu besar. “Secara umum kami lihat tekanan likuiditas tidak besar sekali (tahun ini),” kata Anton di Jakarta, Senin (6/3) kemarin. (Baca juga: Enggan Salurkan Kredit, Bank Pilih Serbu SUN Jangka Pendek)
Sebelumnya, Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengakui kebijakan penyaluran dana transfer melalui penerbitan SUN bisa menggerus likuiditas bank, terutama BPD. “Iya sih, terutama untuk BPD. Tapi, harapannya belanja jadi lebih cepat sehingga likuiditas membaik,” katanya.
Sekadar informasi, tahun ini pemerintah mengalokasikan DBH sebesar Rp 92,8 triliun, dan DAU sebesar Rp 410,8 triliun. Di sisi lain, David menilai positif kebijakan pemerintah tersebut. Sebab, selama ini, belanja daerah selalu lambat dan cenderung mengendap di perbankan. Dengan kebijakan itu, likuiditas akan membaik karena ada disinsentif bila pemerintah daerah tidak belanja.
(Baca juga: Jaga Likuiditas Bank, BI Buat Aturan Keringanan Dividen)
“Ketakutan akan crowding out (desakan keluar) bagi sektor swasta bisa berkurang karena pemda yang belanja tidak efektif akan mendapatkan alokasi nontunai berupa SBN,” ujarnya. Dampak positif lainnya, harga SBN diharapkan lebih stabil karena ada serapan dari pemerintah daerah (pemda).
Secara umum, Anton menjelaskan, selain kebijakan DBH nontunai, tekanan likuiditas perbankan tahun ini berasal dari potensi penerbitan surat utang oleh pemerintah untuk pembiayaan infrastruktur. “Yang perlu diwaspadai juga penciptaan produk nonperbankan, misal, infrastruktur bond yang belum keluar. Kalau itu keluar dan menarik, itu harus diwaspadai,“ ujarnya.
Tahun lalu, misalnya, likuiditas sempat mengetat lantaran pemerintah menerbitkan surat utang untuk membiayai lebih dulu (front loading) belanja negara di awal tahun. Hal tersebut seiring dengan minimnya penerimaan negara.
Likuditas kian ketat ketika nasabah menarik dana dari perbankan untuk membayar uang tebusan amnesti pajak (tax amnesty). Meskipun, dana repatriasi program amnesti pajak kemudian mengompensasi berkurangnya likuiditas perbankan.
Mengacu pada pengalaman itu, Anton lebih khawatir dengan persoalan likuiditas daripada solvabilitas atau kemampuan perusahaan melunasi seluruh utang dengan asetnya. Sebab, meski rasio kredit terhadap simpanan nasabah (Loan to Deposit Ratio/LDR) masih baik di kisaran 90 persen, namun ada risiko-risiko likuiditas yang harus diwaspadai akibat minimnya penerimaan negara dan banyaknya penerbitan surat utang (obligasi).
Apalagi, persoalan likuiditas tidak dibahas dalam Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK). “Kelihatannya tidak ada dana khusus untuk liquidity injection,” ujarnya. Hal ini dinilainya sebagai kelemahan UU PPSK.