Fed Rate Naik, Indonesia Dinilai Masih Menarik bagi Investor Asing

Arief Kamaludin | Katadata
Penulis: Desy Setyowati
Editor: Yura Syahrul
6/3/2017, 16.03 WIB

Rencana bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve, menaikkan suku bunga dananya (Fed Fund Rate) tahun ini dapat mengancam pasar keuangan di negara-negara pasar berkembang (emerging market), termasuk Indonesia. Namun, risiko ini diperkirakan tidak akan berpengaruh besar bagi Indonesia karena masih menarik di mata investor asing.

Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan memperkirakan, bank sentral AS akan menaikkan suku bunga dananya sebanyak dua kali atau maksimal tiga kali sepanjang tahun ini. Sebab, Presiden AS Donald Trump tidak akan membiarkan mata uangnya menguat terlalu tinggi gara-gara membanjirnya dana yang masuk ke Amerika.

Menguat tajamnya dolar AS akan membuat ekspor negara tersebut menurun, karena produknya menjadi lebih mahal. Karena itu, Anton memperkirakan the Fed hanya akan menaikkan Fed Rate maksimal tiga kali tahun ini.

(Baca: DBS Ramal Bunga The Fed Naik 4 Kali, Rupiah Terancam Melemah)

"Ada pergantian (anggota) the Fed yang kelihatannya cenderung dovish (cenderung konservatif)," katanya saat media briefing di Jakarta, Senin (6/3).

Berdasarkan perhitungan seperti itu, Anton memproyeksikan investasi asing masih akan tetap masuk ke Indonesia. Alasannya, jika dihitung dengan besaran Fed Rate jika naik tiga kali menjadi 1,5 persen maka masih ada selisih 3,25 persen terhadap suku bunga acuan BI 7-Days Repo Rate saat ini sebesar 4,75 persen.

Selisih suku bunga dua negara tersebut bisa terus menarik dana asing masuk ke Indonesia. Dengan begitu, nilai tukar rupiah terjaga terhadap dolar AS. Perhitungan Anton, rupiah masih bisa bertahan pada posisi 13.400 per dolar AS.  (Baca: Banyak Risiko, BI Lebih Hati-Hati Jalankan Kebijakan Moneter)

Selain itu, kupon Surat Utang Negara (SUN) yang ditawarkan pemerintah di kisaran tujuh hingga delapan persen. Level ini lebih tinggi dibandingkan surat utang AS, US Tresury, tenor 10 tahun yang hanya sebesar dua persen.

"Kecuali kalau Fed rate naik sampai dua persen (empat kali) dan kalau US Treasury ke tiga persen itu bisa menekan rupiah ke Rp 13.800 per dolar AS," ujar dia.

Selain ditopang oleh besarnya imbal hasil (yield) instrumen investasi berbasiskan bunga, aliran masuk (capital inflow) dana asing turut ditopang kondisi fundamental ekonomi Indonesia saat ini. Salah satu indikatornya adalah dua lembaga pemeringkat internasional, yaitu Moody’s dan Fitch Ratings telah menaikkan prospek utang Indonesia dari “Stabil” menjadi “Positif”.

Sedangkan Standard and Poor's masih mempertahankan peringkat Indonesia di bawah level layak investasi (investment grade). Namun, hal tersebut bisa menjadi premium rate, yang turut menjadi perhitungan untung-rugi bagi investor.

(Baca: KSSK Pantau Tiga Faktor Domestik Pengganggu Stabilitas Keuangan)

Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) akan melakukan intervensi di dua pasar yakni surat utang dan pasar uang kalau terjadi perpindahan dana (capital outflow). Tekanan terhadap nilai tukar juga akan diminimalisir oleh kebijakan kewajiban penggunaan rupiah.

"Biasanya BI menjaga (rupiah). Kalau ada apa-apa, intervensinya di pasar obligasi dan forex market. Lagipula cadangan devisa masih besar," kata Anton.